Palguna merupakan hakim konstitusi periode 2003-2008 dan 2015-2020. Sebelum itu, ia merupakan anggota DPR dari utusan daerah. Dinamika di parlemen membuatnya bebas berbicara. Saat terpilih menjadi hakim MK, ia diminta untuk silent.
"Saya sebenarnya tidak taat. Saya sempat mengajukan permohonan berhenti, lebih baik mundur karena saya biasa berdebat. Sangat menyiksa. Sangat menyiksa!" kata Palguna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Salah satu yang harus dirahasiakan seorang hakim adalah materi Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Sebab, ia diminta merahasiakan seluruh pembicaraan di rapat yang diikuti oleh 9 hakim konstitusi.
"Enaknya MK, boleh Dissenting Opinon (DO), tapi tetep terikat. Ini bagian dari keterbukaan," ujar Palguna.
Namun niatnya mundur jadi hakim MK urung setelah dinasihati sahabatnya. Seluruh unek-uneknya ia tuangkan dalam laptop dan disimpan di file khusus. Nah, karena kebiasaan berdiskusi itu pula ia menolak menjadi hakim pada tahun 1987. Padahal, ia telah lulus ujian calon hakim.
"Saya tiga bulan tidak ditegur orang tua saya," cerita Palguna.
Setelah tidak mengambil kursi hakim, ia memilih menjadi dosen. Sebab, dosen memberikannya tempat dan ruang untuk berdiskusi dan berbicara.
"Kalau jadi dosen, nggak dibayar saja boleh ngomong. Apalagi saat itu, intel di mana-mana," tutur Palguna.
Baca juga: Putusan MK yang Membuat KPK Sedih |
Selama kuliah, Palguna hidup dalam keterbatasan. Ia lalu menjadi penyair, loper koran hingga pemain figuran.
"Mau jadi penyair nggak kesampaian, jadi penyiar," cerita Palguna yang disambut tawa pengunjung.
Dalam kesempatan itu, ia meminta masyarakat Indonesia untuk terus membangun dan membumikan Pancasila. Sebab, tanpa Pancasila, Indonesia belum tentu ada.
"Apakah bisa Indonesia tanpa Pancasila? Ada, tapi bukan Indonesia saat itu," pungkas hakim konstitusi dari unsur Presiden itu. (asp/jbr)