Megibung, demikian namanya, merupakan tradisi makan bersama sesuai dengan budaya Bali. Selama Ramadan, megibung dilaksanakan tiga kali setiap 10 hari puasa. Tradisi ini ternyata sudah dilakukan masyarakat muslim Kepaon sejak ratusan tahun lalu.
"Megibung ini bertujuan mempererat tali silaturahim bagi masyakarat. Juga sebagai rasa syukur bahwa kita sudah mengkhatamkan Alquran dari hari pertama sampai 10 hari ini. Nanti (megibung) ada lagi di hari ke-20 dan hari ke-30 ada lagi," kata Abdul Ghoni, takmir masjid Al-Muhajurin Kampung Islam, Kepaon, kepada detikcom, Sabtu (26/5).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Warga yang membawa makanan telah diatur sesuai pemaksan atau kelompok. Ada tiga kelompok dalam kampung ini, yakni pemaksan kelod (selatan), pemaksan tengah dan pemaksan kaja (utara).
Abdul mengatakan, tradisi megibung tidak boleh ditinggalkan oleh umat muslim Kepaon. Diyakini, jika warisan leluhur ini dilupakan, akan terjadi hal yang tidak baik.
"Kita tidak boleh memungkiri ini. Ini suatu keniscayaan yang harus kita jaga bersama," ujarnya.
![]() |
Megibung atau makan bersama, dimulai setelah jemaah menunaikan salat magrib. Mereka kemudian berkumpul dengan duduk melingkar sekitar lima hingga tujuh orang dengan satu nampan berisi makanan di tengah-tengah mereka.
Tidak hanya umat muslim Kepaon yang merupakan warga asli Bali, umat muslim pendatang juga diajak untuk mengikuti megibung. "Umat hindu juga kita ajak untuk bersama-sama rasakan kebahagian di 10 hari bersama," tegas Abdul.
![]() |
Salah seorang perantau asal Jepara, Jawa Tengah yang ditemui detikcom, Aang Widiyatmoko, mengaku telah beberapa kali mengikuti megibung. Dia tinggal di desa Kepaon, dan sebagai warga pendatang, ia mengaku senang bisa berbagi dan diterima oleh warga Kepaon.
"Saya sebetulnya bukan orang sini cuma saya sering singgah untuk beribadah dan berbuka puasa bareng," jelas Aang (rns/rns)