"Kan pilihannya ada dua, kalau kita mengacu pada apa yang sudah dibahas selama ini dalam pansus itu. Pertama, pilihannya menggunakan model peristiwa," kata Arsul di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kalau ada peristiwa terorisme tertentu TNI akan dilibatkan. Misalnya yang mengancam terhadap keamanan presiden dan wakil presiden atau Istana Negara. Atau di pesawat terbang, kapal laut. Itu berbasis peristiwa terorisme," jelas anggota DPR yang duduk di Komisi III itu.
Pilihan lainnya, ialah berdasarkan skala ancaman atau threat level yang disebabkan aksi teror. Apabila ancaman teror mencapai puncak ketinggian tertentu, maka TNI perlu dilibatkan.
"Kalau basisnya adalah skala ancaman atau threat level, maka tentara atau militer dilibatkan ketika skala ancamannya itu sudah pada tahap yang tinggi," sebutnya.
"Misalnya skala ancaman yang sudah disebut crisis atau gawat. Tapi kalau masih low atau moderate maka itu sepenuhnya itu menjadi kewenangan aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. Jadi ini semua tergantung perpresnya," imbuh Arsul.
Pemerintah dan DPR menyepakati pelibatan TNI diatur dalam UU No 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang saat ini sedang direvisi. Pelibatan TNI akan diatur lebih jauh melalui peraturan presiden (perpres).
Video 20Detik: DPR Tak Mau UU Terorisme Salah Sasaran
(tsa/bag)