"Saya belum bisa berkomentar banyak soal rencana ini karena kami belum menerima keputusan resmi pemerintah soal Koopssusgab," kata Ketua DPR Bambang Soesatyo kepada detikcom, Kamis (17/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya akan meminta dan mendorong Komisi I DPR untuk mendalami dan meminta kejelasan kepada Panglima TNI dan pemerintah," kata Bamsoet.
Sebagaimana diketahui, rentetan aksi terorisme terjadi, disusul berbagai operasi antiteror juga di berbagai wilayah di Indonesia. Mulai dari kerusuhan di rumah tahanan dalam kompleks Mako Brimob Depok, Jawa Barat, yang memakan korban jiwa; bom bunuh diri di tiga gereja dan Markas Polrestabes Surabaya; ledakan bom 'prematur' di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo; hingga penyerangan di Markas Polda Riau di Pekanbaru.
Bamsoet memaklumi apabila Presiden Jokowi membuat keputusan demi keamanan nasional. "Saya bisa memahami keputusan cepat Presiden sebagai panglima tertinggi dalam mengantisipasi langkah yang diperlukan," kata dia.
Koopssusgab juga berisikan TNI. Ada tiga pasukan elite dari tiga matra TNI yang ada di sini, yakni Sat-81 Gultor Kopassus TNI, Detasemen Jalamengkara TNI AL, dan Satbravo 90 Kopaskhas TNI AU.
Di sisi lain, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sempat menjadi polemik berkaitan dengan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi UU Antiterorisme itu belum dimulai, tapi TNI sudah dilibatkan.
Ada landasan aturan untuk Koopssusgab ini, yakni Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pada Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang tersebut diatur bahwa tugas pokok TNI ada dua, yakni operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Salah satu operasi militer selain perang adalah mengatasi aksi terorisme.
Soal pengerahan kekuatan TNI, pada pasal 17 diatur bahwa presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR bila hendak mengerahkan kekuatan TNI. Bahkan dalam keadaan memaksa saat menghadapi ancaman militer, pengerahan kekuatan TNI harus dihentikan bila DPR tidak menyetujuinya, sebagaimana diatur pada pasal 18. Berikut ini bunyi pasalnya:
Pasal 17
(1) Kewenangan dan Tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.
(2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 18
(1) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden
dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI.
(2) Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 2X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut.
Dalam penjelasan itu ditulis bahwa 'keadaan memaksa' yang dimaksud Pasal 18 ayat (1) adalah, "Situasi dan keadaan yang kalau dibiarkan akan mengakibatkan kekacauan keamanan dan kerugian negara yang lebih besar sehingga perlu segera mengambil tindakan untuk mencegah dan mengatasi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata guna menyelamatkan kepentingan nasional." (dnu/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini