Lebih Militan, Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia

Lebih Militan, Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia

Sudrajat, Erwin Dariyanto - detikNews
Senin, 14 Mei 2018 08:13 WIB
Dian Yuli Novi, berembuk dengan pengacaranya setelah dituntut hukuman 10 tahun karena berencana melakukan bom bunuh diri di istana, 11 Desember 2016. (Foto: Dok. BBC)
Jakarta - Seorang perempuan muda berkacamata dan mengenakan baju Sari, pakaian khas India, dengan tenang melangkahmendekatiRajivRatnaGandhi, 21 Mei 1991. Dia membawa rangkaian bunga warna-warni untuk dikalungkan kepada Perdana Menteri keenam dan termuda di India itu yang akan berkampanye diSriperumbudur. Dalam hitungan detik,Rajiv yang baru saja hendak mengangkat badannya seusai menunduk, tiba-tiba...boom.

"Ternyata bunga itu adalah kabel yang merupakan bahan peledak," kata Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian kepada pers beberapa waktu lalu.

Boleh jadi aksi bom bunuh diri dengan melibatkan wanita seperti dalam kasus Rajiv Gandhi bukan yang pertama, dan tentu bukan yang terakhir. Di sejumlah negara yang dilanda konflik seperti Suriah, Irak, Afghanistan, dan Yordania, misalnya, terjadi aksi-aksi serupa.

Tapi apa yang dilakukan Puji Kuswati saat melakukan aksi bom diri ke Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro, Surabaya, Minggu (13/5/2018) tetap luar biasa dan super nekad. Sebab dia membawa serta dua putrinya, Fadhila Sari, (12) dan Famela Rizqita (9).

Perekrutan wanita dalam terorisme di Tanah Air sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Hanya saja, rencana aksi mereka beberapa berhasil digagalkan tim Densus 88. Misalnya rencana Dian Yuli Novi alias Ayatul Annnisa, mantan TKW di Taiwan, yang bersama suaminya akan menyerang istana kepresidenan dengan bom panci pada 11 Desember 2016.

Rencana itu keburu terendus dan Dian berhasil diringkus di kontrakannya di kawasan Bekasi. Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengukumnya 7,5 tahun penjara pada 28 Agustus 2017. Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, 10 tahun, karena dian dalam kondisi hamil tua. Mengapa kelompok terorisme menjadikan perempuan sebagai subyek dan pelaku? "Karena wanita dianggap lebih tidak mencurigakan," kata Tito.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara Musdah Mulia dalam makalahnya, "Perempuan Dalam Gerakan Terorisme di Indonesia" mengutip wacana feminisme yang menyimpulkan, perempuan adalah kelompok paling diandalkan dalam soal loyalitas, kesetiaan dan kepatuhan. "Perempuan juga adalah kelompok paling mudah percaya dan tunduk pada segala hal benuansa agama," tulisnya.

Selain itu, kaum perempuan dianggap sangat loyal pada ajaran dan ideologi agama, lebih militan dalam menjalankan aksinya. Apalagi mereka yang pernah mengalami trauma, menjadi korban KDRT atau mengalami konflik dalam keluarga atau perceraian. "Di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-laki lebih pengecut," tulis Musdah mengutip Bahrun Naim, pimpinan ISIS asal Indonesia, dalam percakapan Telegram, Juni 2016.


Selain itu, merujuk hasil penelitian Yayasan Prasasti Perdamaian mengungkapkan, umumnya perempuan mereka yang banyak terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia adalah para isteri dan keluarga teroris yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, isteri dan keluarga para jihadis di Suriah, Lebanon dan Turki. Juga karena para suami atau keluarga mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, gerakanNegara Islam Indonesia, ISIS, Salafi Jihadis dan organisasi Islam radikal lain.

Menarik disebutkan, sebagian besar mereka bukanlah perempuan bodoh dan tidak terdidik. Kebanyakan mereka lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan pesantren dan Sekolah Menengah Atas. Kategori ini mengena untuk kasus Puji Kuswati. Di akun facebook yang ditelusuri detik.com, dia mencatat dirinya lulusan Akademi Perawat RSI Surabaya.

Dari aspek ekonomi, mereka juga tidak selalu dari kelompok miskin, tidak sedikit dari kalangan menengah ke atas. Sebagian mereka direkrut melalui pernikahan, lalu suami mendoktrin mereka dengan pemahaman Islam radikal, seperti dialami Dian Yuli Novi.

Sementara Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC) menyebut keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme memang tak cuma sekedar untuk menggalang dana dan menyediakan perlengkapan logistic, "tapi juga ada kemauan kuat para perempuan itu untuk dikenal sebagai pejuang jihad," tulis IPAC seperti dikutip BBC.


Saksikan juga video tentang Presiden Jokowi mengajak masyarakat jaga persatuan untuk berantas teroris:

[Gambas:Video 20detik]





(jat/jat)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads