Pasangan di bawah umur yang tidak mendapatkan izin menikah oleh UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dapat mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama untuk dinikahkan secara sah dan tercatat oleh Negara.
"Dari data yang kami peroleh dari Pengadilan Agama, tahun 2016 itu ada 30 kasus, sementara tahun 2017 itu 28. Ini yang mengajukan dispensasi yah, belum kaya kasus baru-baru ini," kata Kadis Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan (PAPP) Maros, Muh Idrus, Kamis (3/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu faktor yah budaya. Bagi sebagian masyarakat kita, menikahi sepupu ataupun keluarga dekat itu biar harta tidak jatuh ke orang lain. Soal usia, sih nggak pernah dipermaslahkan, kalau orang tua mau, mereka biasanya dijodohkan," lanjutnya.
Selain faktor itu, ada perbedaan standar usia dalam beberapa regulasi. UU Perkawinan misalnya, batas minimal pria menikah itu 19, sementara wanita 16 tahun. Sementara UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, usia anak itu di bawah 18 tahun.
Belum lagi, dalam UU Perkawinan membuka cela perkawinan di bawah umur dengan adanya aturan dispensasi dari Pengadilan Agama. Cela inilah yang banyak dimanfaatkan bagi pelaku pernikahan dini untuk mendapatkan restu dari negara.
"Kalau dibilang cela, yah nggak juga. Memang aturannya begitu yah. Pasangan yang belum cukup umur mau mendapatkan legalitas, harus mengajukan permohonan dispensasi. Tergantung hakim, apa mau berikan atau tidak. Kalau ada itu, kita pasti catatkan," terang Kepala KUA Kecamatan Maros Baru, Sukeri.
Diketahui, belum sebulan kasus pernikahan dini di Bantaeng, pernikahan serupa kembali terjadi di Maros, Sulsel. ST (14) dengan RS (16) menikah, meski tak mendapatkan izin dari desa dan KUA setempat. Mereka menikah di Capoa Makassar dan resepsi di desa Majannang, Kecamatan Maros Baru, Maros pada Sabtu (28/4/2018) lalu.
(asp/asp)











































