570 hari lalu, tepatnya pada 8-9 Agustus 2016, ratusan rumah milik warga Cikuasa Pantai, Kota Cilegon, digusur oleh pemerintah. Alasannya warga tak berhak tinggal di tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang persis di pinggir rel kereta. Alasan lain, pemerintah Kota Cilegon ingin menjadikan lahan yang didiami warga puluhan tahun itu sebagai ruang terbuka hijau.
Ingatan warga terhadap cengkeraman alat berat yang meruntuhkan rumah mereka masih terekam dalam ingatan. Saat itu, air mata anak-anak dan orang tua bercucuran kala ratusan Satpol PP dan polisi mengamankan jalannya penggusuran demi keindahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan lain dari pemerintah, daerah Cikuasa Pantai kerap dijadikan sebagai ajang transaksi prostitusi. Ketiga alasan tersebut membuat pemerintah kalah itu tambah yakin untuk membuat ratusan rumah milik warga rata dengan tanah.
"Begitu (rumah) kami dibongkar, kami yang tidak punya apa-apa yang tidak punya kemampuan, yang jompo, yang yatim banyak di sini dan kami di sini tidak punya satu tenda pun selama satu bulan, kami ngemis di jalan untuk beli tenda," kata salah seorang korban penggusuran, Sri Astuti saat menyampaikan kisah penggusurannya di hadapan komisioner Komnas HAM, Selasa (24/4/2018) sore.
Satu tahun tiga bulan berlalu, warga korban gusuran tak mendapat bantuan dari pemerintah, jangankan relokasi, sekadar beras sejahtera saja tak mereka dapatkan. Yang lebih perih, kata Sri, aliran listrik diputus oleh PLN. Padahal, anak-anak mereka masih sekolah dan perlu belajar pada malam hari.
"Sekarang kami sudah berhitung 570 hari dikali per hari kami mengeluarkan uang untuk bertahan makan, berapa coba kakulasinya, tidak seniai dengan apa yang kami rasakan, mereka enak tidur nyenyak ber-AC, bermobil, makan tingga makan, kami bersihkan puing-puing dalam satu tahun tiga bulan seorang diri," tuturnya.
Penggusuran rumah itu menyisakan kenangan pahit di benak warga Cikuasa Pantai, raut wajah penuh amarah terlihat saat menceritakan kebijakan penggusuran yang dilakukan pemerintahnya sendiri. Seketika itu pula, air mata mereka menetes ketika teringat alat berat menghancurkan rumah dan anak-anak mereka tidur di atas tanah beralas terpal.
"Saat dapat 10 hari kemudian (pasca penggusuran) anaknya Wawan melahirkan, meninggal dunia jabang bayi. Itu yang kami alami saat itu," ujar Sri.
570 hari berlalu, warga Cikuasa Pantai tak menyerah, api perlawanan terus mereka gelorakan untuk melawan pemerintah. Dibantu salah seorang pengacara, mereka menggugat kebijakan Pemkot Cilegon ke pengadilan.
Mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), dan pihak pengadilan mewajibkan pemerintah untuk membayar ganti rugi. Namun, perintah pengadian itu tidak diindahkan oleh pemerintah.
"Kami berusaha lagi di PN, kami menang, kami bukannya dibayar tapi di-banding (oleh Pemkot Cilegon, kami ini warga kami menuntut keadilan, hak kami yang sudah dirampas, rumah satu-satunya rumah tunggal kami," kata Sri.
Warga kemudian mengadukan kasus penggusuran itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM. Mereka berharap Komnas HAM dapat memberi rekomendasi ke pemerintah baik daerah maupun pusat agar mereka dapat menjalani kehidupan seperti sediakala.
"Langkahnya kita akan lihat dari pengaduan dan data yang didapat dari lapangan, Komnas HAM akan olah nanti dan akan kita berikan dorongan penyelesaian kasus kepada para pihak dalam hal ini mungkin PT KAI dan Pemkot Cilegon," kata Kepala Biro Administrasi Penegakan HAM, Johan Efendi.
Seorang warga berdiri di depan reruntuhan bangunan Foto: Muhammad Iqbal/detikcom |
Komnas HAM sengaja turun langsung ke lokasi gusuran untuk melihat dan merekam cerita warga. Dari penuturan yang didapat, kata Johan, dulu di Cikuasa Pantai terdapat sebuah desa atau kelurahan. Nantinya, sisi itu juga akan dilihat untuk melengkapi data yang akan diolah.
"Kita melihat proses penggusuran, orang menempati sudah sekian puluh tahun di sini dan ini dulu katanya ada desa atau kelurahan, itu yang nanti kita akan lihat," ujar Johan.
(ams/ams)












































Seorang warga berdiri di depan reruntuhan bangunan Foto: Muhammad Iqbal/detikcom