Kartini dari Aceh: Dilarang Sekolah, Kini Ngajar Ibu Pedalaman

Hari Kartini

Kartini dari Aceh: Dilarang Sekolah, Kini Ngajar Ibu Pedalaman

Agus Setyadi - detikNews
Jumat, 20 Apr 2018 09:39 WIB
Nurma yang mengajar di pedalaman Aceh (Agus/detikcom)
Aceh - Nurma (35) tak kuasa menahan tangis kala mengenang masa-masa pahit dirinya dilarang bersekolah. Cita-citanya melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi dibenam sang orang tuanya.

Ia tak ingin kisahnya juga dialami sang buah hati. Kini lulusan sekolah dasar ini menjadi pelita bagi ibu-ibu tunaaksara di pedalaman Aceh Timur.

Perempuan kelahiran Aceh Tamiang, Aceh, ini punya cita-cita tinggi yang ingin digapai. Setelah lulus SD, dia ingin melanjutkan sekolah menengah pertama di kampungnya. Namun sang orang tua tidak mengizinkan Nurma kecil bersekolah. Alasannya, keterbatasan ekonomi dan letak sekolah yang tergolong jauh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Nurma, yang masih berusia belasan tahun kala itu, sempat berontak. Dia kecewa terhadap keputusan sang ayah. Soalnya, dalam keluarga hanya Nurma yang putus sekolah, sementara adik laki-lakinya semua tamatan sekolah menengah atas. Nurma kecewa berat, namun akhirnya dia pasrah.
Kartini dari Aceh: Dilarang Sekolah, Kini Ngajar Ibu Pedalaman

"Memang gimana ya, saya jiwanya kepengin sekolah saya tinggi. Jangan mentang-mentang saya anak perempuan saya nggak disekolahin. Maksudnya ingin buktikan anak perempuan juga butuh pendidikan, sekarang kan kesetaraan gender, nggak semua perempuan selalu di dapur. Perempuan paling nggak ada pendidikannya. Masak harus tamat SD doang," kata Nurma saat ditemui detikcom awal April lalu.

Nurma tak ingin kisahnya pada masa kecil juga dialami sang anak. Nurma kini berencana menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Anak sulungnya duduk di bangku SMA di Aceh Tamiang. Lokasi ini sangat jauh, yaitu butuh waktu sekitar empat jam dengan menggunakan boat dari Desa Melidi, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur. Agar bisa melanjutkan pendidikan, sang buah hati harus tinggal bersama kakek-neneknya.


Kala semua anak-anaknya berkumpul, Nurma kerap memberi nasihat kepada mereka. Istri Ajisah ini meminta sang buah hati rajin menuntut ilmu dan tidak sering bolos. Petuah yang disampaikan Nurma melekat di kepala sang anak.

"Saya akan menyekolahkan dia tidak ada batasannya. Kalau dia jiwanya sekolah, kami mengusahakan. Ya saya nggak mau anak saya seperti saya, yang dilarang orang tuanya sekolah karena perempuan. Saya mau dia sekolah tinggi. Suami saya mendukung anak-anak itu harus sekolah tinggi," jelas Nurma sambil terisak.

Selain menjadi ibu bagi ketiga anaknya, Nurma kini juga menjadi guru bagi perempuan buta huruf (tunaaksara) di Desa Melidi. Wanita di pedalaman Aceh Timur ini mayoritas tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung.


Nurma berkisah motivasinya mengajar muncul saat ikut posyandu di kampungnya pada 2010. Saat itu ibu-ibu di sana memegang Kartu Menuju Sehat (KMS) namun sebagian besar buta huruf. Nurma merasa kasihan melihat kondisi perempuan di tempat tinggalnya.

"Dari situlah muncul keinginan untuk mengajar ibu-ibu di sini," jelas ibu tiga anak ini.

Sejak saat itu, Nurma mulai bergerilya menyambangi ibu-ibu di setiap rumah. Ia mengajak ibu-ibu belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Awalnya, 10 warga mengaku bersedia 'sekolah' di rumahnya.

"Tapi saat proses belajar digelar, cuma tiga orang yang datang," jelas Nurma.

Nurma tak putus asa. Lambat laun jumlah ibu-ibu yang ikut belajar di rumahnya bertambah. Setiap Jumat, Nurma mengajari mereka banyak hal, mulai cara menghitung, perkenalan huruf, hingga menulis. Bahkan di antara "murid-muridnya" itu, sebelumnya ada yang tidak pernah memegang alat tulis sama sekali.

Proses belajar-mengajar di sana digelar setiap Jumat pagi sekitar pukul 09.00 WIB hingga selesai. Sementara pada Minggu pagi, adik ipar Nurma yang menjadi guru. Di rumah Nurma, tersedia papan tulis dan ibu-ibu yang belajar duduk secara lesehan. Suasana belajar-mengajar berlangsung santai dan cair.

Nurma sebenarnya bukan warga asli Desa Melidi, Simpang Jernih. Dia berasal dari Johan, Aceh Tamiang. Namun, setelah menikah dengan Ajisah, yang merupakan warga di sana, keduanya tinggal di desa pedalaman tersebut sejak 2007. Nurma dan keluarga kecilnya tinggal di rumah panggung terbuat dari kayu.

Proses mengajar ibu-ibu di pedalaman Aceh ini dilakukan Nurma secara sukarela. Sebelum kelas dimulai, para muridnya diharuskan menyetor sumbangan wajib sebesar Rp 1.000 per orang dan tabungan pribadi tergantung kemampuan. Ibu-ibu yang bertugas sebagai bendahara mencatat uang masuk.
Kartini dari Aceh: Dilarang Sekolah, Kini Ngajar Ibu Pedalaman

"Tujuan saya mengajar di sini biar ibu-ibu ini ke depan nggak ada lagi buta huruf. Kalau bisa semua masyarakat di sini bisa baca-tulis dan mengajari anak mereka. Paling tidak ketika anak mereka pulang sekolah, ibu-ibu ini bertanya ada PR apa dan mereka dapat membantu. Kalau ibunya nggak bisa baca-hitung gimana ngajarin anaknya," ungkap Nurma. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads