"Sebagai contoh, ketika Megawati secara khusus menyiapkan Jokowi sebagai capres. Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden pun, saat itu Jokowi bertanya kepada Mega, bagaimana untuk susunan kabinetnya," kata Hasto kepada KH Nasaruddin di Masjid Istiqlal, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Rabu (11/4/2018).
"Mega tidak berbicara, 'Tolong kasih kami kursi sekian menteri.' Tidak. Tapi yang disampaikan adalah, 'Dek Jokowi', sebelum dilantik, Mega bilang, 'Sebelum susun kabinet, saya ingin memberikan masukan,'" lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mega, kata Hasto, bercerita tentang pengalamannya saat diajak berkeliling Indonesia oleh Bung Karno. Dalam perjalanannya, Mega melihat bagaimana Muhammadiyah yang menjadi tokoh, saat Islam masuk dalam perdagangan.
"Menyampaikan konsepsi Islam sebagai rahmatan lil alamin lewat jalan perdagangan," ujarnya.
"Nah, kalau saya lihat, mohon maaf, zaman Pak Harto (mantan presiden Soeharto), Islam kan dijauhkan dari perdagangan akibat situasi politik saat itu, maka kebijakan ekonomi banyak diserahkan kepada kelompok Tionghoa. Bahkan pengusaha-pengusaha Bumi Putera yang disiapkan Bung Karno itu semua tersingkir," lanjut Hasto.
Dari situlah Mega, kata Hasto, melihat dan memberikan misi kepada Jokowi untuk mengembalikan Islam pada jalan perdagangan. Maka Mega mengusulkan, supaya semangatnya seperti dulu, dan mengatasi ketidakadilan, maka untuk menteri perdagangan diberikan kepada Muhammadiyah.
"Lalu Jokowi bertanya, 'NU dos pundhi, gimana?' Kalau kita berbicara orang miskin, itu yang ada (yang bisa urus) adalah NU dan juga marhaen. Itu basis Bung Karno. Maka menteri-menteri yang dari NU itu yang ngurus rakyat. Seperti Menteri Pertanian, Menteri Koperasi, Menteri Sosial," tutur Hasto.
"Cuma saat itu kan ada situasi politik, di mana ada oknum-oknum yang kemudian menyalahgunakan kepercayaan itu dan dirombak susunan-susunan. Nah itulah sebagai contoh bagaimana beliau juga menaruh perhatian yang begitu besar terhadap susunan kabinet tanpa berpikir terlebih dahulu dengan PDIP," lanjutnya.
Sementara itu, dalam kesempatan itu, KH Nasaruddin juga menceritakan bagaimana ia dan Megawati memiliki kedekatan tersendiri. Sebab, saat Mega mencalonkan diri sebagai calon presiden, disertasinya tentang kesetaraan gender ikut membantu Mega menghadapi isu-isu di mana perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
"Saya kira Bu Mega tidak melupakan saya. Ketika waktu kampanye di mana-mana ada ayat tidak boleh perempuan menjadi kepala negara. Tetapi disertasi saya keluar tepat waktu, argumen kesetaraan gender. Mungkin satu-satunya disertasi yang sangat berani mengungkapkan 'tolaklah Bu Megawati karena kapasitasnya, tapi jangan menolak karena dia seorang perempuan'," tuturnya. (gbr/gbr)