Naik Sampan, Siswa Pedalaman Aceh Bertaruh Nyawa ke Sekolah

Naik Sampan, Siswa Pedalaman Aceh Bertaruh Nyawa ke Sekolah

Agus Setyadi - detikNews
Senin, 09 Apr 2018 09:57 WIB
Siswa SD naik sampan ke sekolah (agus/detikcom)
Aceh - Bocah itu dengan penuh semangat mendayung sampan membelah sungai yang tengah meluap. Badannya, dia biarkan terbuka menahan sengatan mentari pagi. Hanya mengenakan celana, kedua tangan siswa kelas empat Sekolah Dasar (SD) ini cekatan memegang alat kayuh.

Sampan yang didayung Amir berjalan pelan. Pagi itu, dia berangkat ke sekolah berdua dengan adiknya. Amir duduk paling belakang menjadi nakhoda sementara sang adik duduk di depan sampan. Saat berangkat dari rumah, seragam sekolah Amir dimasukkan ke dalam tas dan ditaruh paling depan.

"Baju, sepatu dan alat tulis saya masukkan ke dalam tas agar tidak basah. Pakai celana saja dari seberang," kata Amir saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Amir dan adiknya merupakan siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Melidi, di Desa Melidi, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur, Aceh. Desa ini terletak di pedalaman. Untuk ke Melidi dari ibu kota Aceh Timur, butuh waktu sekitar delapan jam dengan melewati jalur darat dan sungai.

Desa Melidi sendiri terbelah oleh sungai Tamiang. Siswa dari seberang sungai setiap pagi harus menyeberang sungai untuk ke sekolah. Jika getek rusak, maka alternatif lain adalah menggunakan sampan yang harus didayung sendiri.

"Getek lagi rusak. Kami harus naik sampan," jelas Amir.


Usai melabuhkan sampan di pinggir sungai, Amir bergegas. Tas yang dibawanya dibuka. Dia mengambil baju pramuka dan sepatu untuk dipakainya. Perjuangan Amir belum usai. Agar sampai ke sekolah, keduanya harus berjalan kaki sejauh sekitar dua kilometer.

Sekolah itu memang terletak di ujung desa. Aktivitas belajar mengajar digelar layaknya di sekolah-sekolah di tempat lain. Meski harus menantang maut agar dapat bersekolah, namun tidak ada raut takut di wajah anak-anak pedalaman ini. Jika arus sungai normal, maka mereka menyeberang sendiri dengan lebar sekitar 100 meter tanpa didampingi orang tua.

"Kami sudah biasa nyeberang sungai. Tidak takut," ungkapnya.

Anak-anak di pedalaman memang tidak selalu dapat sekolah dengan leluasa layaknya anak di tempat lain. Jika hujan deras mengguyur pada malam hari, maka paginya mereka memilih libur. Sungai meluap menjadi salah satu alasannya.

"Kalau arus sungai deras kami tidak sekolah. Tidak berani nyeberang, banyak kayu-kayu," kata Amir.


Sementara itu, seorang guru SD Melidi, Mutia (45), mengaku, di sekolah tempat dia mengajar terdapat 100 siswa dari kelas satu hingga kelas enam. Siswa-siswi ini diajarkan oleh 10 guru di antaranya lima Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan selebihnya berstatus bakti.

"Siswa yang rumahnya di seberang sungai susah sekolah apalagi kalau sungai deras. Kami maklum saja," kata Mutia.

Bagi Mutia, semangat anak-anak desa pedalaman ini untuk bersekolah sangat tinggi. Hanya saja, mereka tidak dilengkapi dengan sarana prasarana yang layak dan transportasi yang memadai. Siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah memang tidak ada kendala dengan transportasi.

"Semangat anak-anak sangat luar biasa. Tapi jarang tersorot kondisi ini keluar. Tidak pernah seorang pejabat pemerintah yang datang untuk melihat kondisi sekolah di sini," ungkap guru yang sudah 20 tahun mengajarr di pedalaman ini. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads