Karya sastra yang pernah menjadi sorotan adalah Serat Gatoloco dan Serat Dermogandhul. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang disunting oleh T.E Behrend dan Tutik Pudjiastuti menuliskan Serat Gatoloco berisi pengalaman seseorang bernama Gatholoco yang menolak ajaran Islam. Naskah ini berbentuk puisi.
Gatholoco berkelana dan bertandang ke pesantren Arjasari. Ia-pun lantas berdebat dengan tiga orang santri. Serat ini menggambarkan kemenangan perdebatan Gatholoco hingga ia pergi ke Gua Siluman Werit dan bertemu dengan Dewi Perjiwati. Gatholoco digambarkan sebagai orang yang berperawakan gempal dan buruk rupa.
Perangainya urakan namun tahu segala hal walaupun sering mengaku tidak tahu. Ia hidup dengan madat, minum-minuman keras, dan berjudi dengan didampingi punakawannya, Dermagandhul. Makna nama Gatholoco sendiri terdiri dari kata gatho (kepala) dan loco (alat untuk mengasah).
Baca juga: Kapitra Ampera: Mari Kita Maafkan Sukmawati |
Sedangkan Serat Dermagandhul menceritakan percakapan Kalamwadi dengan Dermaghandul dimulai ketika masuknya Islam masuk ke Jawa atas izin Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Serat ini juga menceritakan perdebatan ilmu antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya hingga serangan Patih Gajah Mada kepada Sunan Giri. Serangan ini ditujukan untuk mengusir para ulama di Jawa.
Akhir kisah serat ini menceritakan lolosnya Prabu Brawijaya V menuju barat. Ia kemudian beralih memeluk Islam. Dua abdi dalemnya, Sabda Palon dan Naya Genggong, menyesali sikap raja ini.
Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 yang ditulis oleh Merle Calvin Ricklefs menyebutkan dua naskah ini bersama Babad Kediri merupakan bentuk penolakan masuknya Islam ke Jawa. Jatuhnya Majapahit pada kerajaan Islam dilukiskan sebagai pengkhianatan tak termaafkan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam yang licik.
"Iman Islam, penganutnya, dan sebagian aspek sakralnya diperlakukan di luar batas, seringnya berupa ejekan cabul, terutama dalam Suluk Gatholoco dan Serat Dermaghandul," tulis Ricklefs.
Pada masa awal Orde Baru, sebuah cerita pendek karya penulis yang menggunakan nama pena Ki Pandji Kusmin pernah membuat gempar. Cerita berjudul Langit Makin Mendung itu berisi kritik terhadap Sukarno, Nasakom, dan PKI.
Kusmin menceritakan mengenai penghuni surga yang mulai bosan. Nabi Muhammad SAW lantas turun dari langit untuk menengok kondisi bumi. Bouroq, kuda bersayap tunggangan Muhammad, sempat linglung setelah bertabrakan dengan wahana luar angkasa Uni Soviet, Sputnik.
Sesampai di atas bumi ia sempat ke Indonesia dan mendapat penjelasan kondisi sosial politik yang diberikan oleh Malaikat Djibril yang mengiringinya. Djibril menjelaskan mengenai wabah flu di Indonesia, permintaan bantuan Sukarno kepada Republik Rakyat Cina, dan kemarau berkepanjangan. Permasalahan-permasalahan itu menjadi sebuah ironi hingga Muhammad, dalam novel itu, menyebut orang-orang dengan kafir.
Buku Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan Bermula yang diedit oleh Taufik Abdulah, Sukri Abdurrachman, dan Restu Gunawan menyebutkan novel ini menuai protes karena penggambaran atas vulgar atas Allah, Muhammad, dan kondisi surga. Kusmin menggambarkan wujud semua peran yang ada di dalamnya dengan jelas hingga dianggap menistakan Islam.
Cerita ini dimuat dalam Majalah Sastra No. 1 Th.VI Agustus 1968 dan mengundang reaksi keras. Klarifikasi dan permintaan maaf HB Jassin sebagai pengelola majalah dan Kusmin tak menyurutkan protes. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sempat melarang terbitnya Majalah Sastra.
Pada 1970 Jassin harus berhadapan dengan pengadilan. Dia dihukum satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. (ayo/jat)











































