Setelah selesai menulis, Nurma memberi aba-aba. Ia mengajak muridnya yang sudah emak-emak ini untuk membaca bersama. Suara riuh diselingi tawa terdengar. Proses belajar mengajar di sana bak sekolah formal. Nurma menuntun mereka dan mengajar dengan sabar.
Beberapa ibu, ada yang masih mengeja huruf per huruf agar dapat membaca. Jika giliran muridnya belum lancar membaca, maka Nurma duduk di depan mereka dan kembali memperkenalkan huruf sembari mengajar mengejar. Suasana belajar di depan rumah Nurma ini berjalan santai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Desa Melidi ini terletak sangat jauh dengan ibu kota Aceh Timur. Dari pusat kota, menuju ke sana harus melewati dua kabupaten terlebih dulu yaitu Kota Langsa dan Aceh Tamiang atau butuh waktu sekitar dua jam. Tiba di Pelabuhan Aceh Tamiang, untuk ke Kecamatan Simpang Jernih harus naik boat dan butuh waktu sekitar lima jam.
![]() |
Jalur transportasi satu-satunya ke desa Melidi cuma menggunakan boat dan berlayar menyusuri sungai Tamiang. Jika arus deras, masyarakat di sana harus menantang maut untuk sampai. Di boat, tidak ada baju pelampung yang disediakan.
Nurma mengajar ibu-ibu di pedalaman Aceh ini secara sukarela. Sebelum kelas dimulai, para murid-muridnya diharuskan menyetor sumbangan wajib sebesar Rp 1.000/orang dan tabungan pribadi tergantung kemampuan. Ibu-ibu yang bertugas sebagai bendahara mencatat uang masuk.
Proses belajar mengajar di sana sudah berlangsung sejak Januari 2010 silam. Dalam seminggu, ibu-ibu ini belajar sebanyak dua kali yaitu Jumat dan Minggu. Selain membaca, mereka juga diajarkan menulis dan menghitung. Nurma menulis di papan tulis dan kemudian ibu-ibu ini menulis di buku catatan.
Sejak mengajar 2007 lalu, ia tidak dibayar. Semua dilakukan dengan sukarela tanpa digaji siapa pun.
Nurma punya motivasi sendiri untuk mengajar ibu-ibu di kampungnya. Ia ingin masyarakat yang tinggal di pedalaman tidak buta huruf sehingga ke depan dapat mendidik anak-anak mereka. Pendidikan di sekolah formal di sana juga masih tertinggal dibanding di tempat-tempat lain.
"Saya ngajar biar ibu-ibu ini ke depan nggak ada lagi buta huruf. Kalau bisa semua masyarakat di sini bisa baca tulis dan mengajari anak mereka. Paling tidak ketika anak mereka pulang sekolah, ibu-ibu ini bertanya ada PR apa dan mereka dapat membantu. Kalau ibunya gak bisa baca hitung gimana ngajarin anaknya," jelas Nurma.
Meski menjadi guru, Nurma sendiri sebenarnya hanya sekolah sampai tamat sekolah dasar. Waktu itu, orang tuanya tidak mengizinkan Nurma melanjutkan pendidikan. Selain soal biaya, letak sekolah juga jauh dari tempat tinggal mereka.
"Mungkin karena saya anak perempuan, dua orang tua nggak berani lepasin untuk sekolah. Karena untuk ke SMP harus harus naik kendaraan umum jauh. Jadi orang tua nggak berani ngelepasin gitu selain nggak punya biaya," ungkap ibu tiga anak ini. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini