"Putusan itu kan kami pelajari dulu. Baik jumlah putusannya yang lebih kecil (12 tahun), kerugian negara, pembukaan blokir dan lain-lain," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada detikcom, Kamis (29/3/2018).
Dalam vonis itu, majelis hakim menyampingkan tuntutan soal kerugian ekologis terhadap terdakwa sebesar Rp 2,7 triliun sehingga hanya menetapkan Rp 1,5 triliun sebagai angka kerugian negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"KPK tentu akan perjuangkan semaksimal mungkin apa yang sudah kita sampaikan di tuntutan," kata Febri.
"Karena fakta-fakta kami pandang cukup banyak dan pemberantasan korupsi juga perlu memperhatikan aspek lain seperti lingkungan hidup, dan lain-lain," imbuhnya.
Dalam putusan itu, majelis hakim menyatakan wilayah PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) tidak berada di dalam lahan konservasi melainkan di dalam lahan ATL. Kemudian dari keterangan saksi ahli dari LAPAN disebutkan PT AHB sudah berupaya melakukan reklamasi dan dibuktikan dengan citra satelit.
Namun, upaya reklamasi itu terhenti karena adanya penyidikan KPK. Sehingga itikad baik reklamasi PT AHB untuk proses awal dari perbaikan lingkungan terhenti. Dengan pertimbangan tersebut hakim memutuskan tidak menjatuhkan kerugian ekologis sebesar Rp 2.728.745.136.000 triliun tersebut kepada terdakwa.
Atas perbuatannya Nur Alam divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta subsider 6 bulan kurungan. Dia juga dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun dan diminta membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar.
Hakim menilai Nur Alam menyalahgunakan jabatannya sebagai Gubernur Sultra dan memperkaya diri sendiri dari uang yang didapat dari pengurusan izin pertambangan. Uang itu digunakan Nur Alam untuk membeli rumah dan mobil BMW Z4 atas nama Ridho Isana selaku staf protokoler Pemprov Sultra di Jakarta. Nur Alam juga dinyatakan menerima gratifikasi sebesar Rp 40 miliar.
(nif/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini