Hal ini disampaikan oleh Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dalam pembukaan seminar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13/2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Koorporasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Teroris di Hotel Mercure, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (27/3/2018). Acara ini juga dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Laode Syarif, Perwakilan Menkumham dan seluruh pejabat PPATK.
"Koorporasi sering kali digunakan oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana. Koorporasi juga dimanfaatkan pelaku tindak pidana sebagai kendaraan atau media pencucian uang," kata Kiagus dalam sambutannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kiagus menyebutkan Pada Tahun 2015, berdasarkan penelitian mengenai dokumen National Risk yang dilakukan PPATK bersama beberapa Kementerian dan Lembaga di Indonesia, ancaman tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi juga lebih tinggi dibandingkan perorangan. Nilai ancaman yang dilakukan korporasi sebesar 7,1 dan perorangan 6,74.
"Terindikasi bahwa tingkat ancaman tindak pidana uang yang dilakukan korporasi lebih tinggi dengan nilai ancaman sebesar 7,1 dibandingkan dengan ancaman yang dilakukan perorangan dengan nilai ancaman 6,74, " ucap Kiagus.
Menurutnya, dengan adanya Perpres Nomor 13/2018 itu, terutama mengenai transparansi pemilik manfaat dalam suatu korporasi akan mencegah tindak pencucian uang atau pendanaan tindak pidana yang terjadi melalui korporasi ataupun perorangan.
"Dengan Perpres Nomor 13/2018 ini akan mendorong terwujudnya korporasi yang berintegrasi dan jauh dari tindak pidana pencucian uang di Indonesia," ucap Kiagus.
Dalam Perpres itu mewajibkan setiap korporasi untuk memberikan detail informasi pemilik manfaat dan menyediakan informasi mengenai korporasi dan pemilik manfaatnya atas dasar permintaan instansi berwenang atau penegak hukum.
Pemilik manfaat didefinisikan sebagai orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi, baik langsung maupun tidak langsung, dan merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi.
Selain untuk mencegah adanya tindak pencucian uang, transparansi ini juga dinilai akan berdampak baik bagi daya investasi dan daya saing korporasi di Indonesia. Dengan transparansi korporasi itu, para investor untuk menanamkan saham di suatu korporasi di Indonesia.
"Penetapan dan implementasi Perpres Nomor 13/2018 tidak akan mengganggu investasi dan kemudahan untuk berbisnis bagi pengusaha dan investor karena adanya informasi mengenai pemilik yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh pengesahan korporasi oleh otoritas yang berwenang," ucap Kiagus. (rvk/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini