Sejauh ini, tercatat sejumlah kampus yang memasang petunjuk etis komunikasi mahasiswa dan dosen di antaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Pancasila (UP). UGM dan UP bahkan memberi petunjuk teknis melarang mahasiswanya menggunakan singkatan kata ataupun bahasa alay saat mengirim pesan ke dosen.
Pakar Komunikasi UI Dr Ir Firman Kurniawan Sujono Msi punya analisis soal fenomena aturan etik komunikasi mahasiswa-dosen yang dipasang di sejumlah kampus. Firman mengatakan memang ada perubahan pola komunikasi generasi mahasiswa zaman sekarang, karena perubahan ekosistem media yang dimulai di era Short Message Service (SMS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, ini tidak bisa dilihat berdiri sendiri. Mulai zaman SMS jumlah karakter dibatasi, kemudian sosial media juga cenderung menjadi lebih pendek, dulu 140 (karakter) sekarang naik. Terus apa namanya, munculnya bahasa-bahasa alay dan sebagainya," kata Firman saat berbincang dengan detikcom, Selasa (13/3/2018).
Perkembangan budaya tulis pesan, di sebagian orang, terbawa hingga pergaulan kampus. Kerap ditemukan mahasiswa yang menghubungi dosennya dengan bahasa yang tak dimengerti.
"Jadi, semua bercampur baur membentuk sebuah kultur yang tak disadari menyebabkan perubahan nuansa dibanding era yang sebelumnya, sehingga kadang-kadang para dosen juga terkena kultur itu. Mereka juga berbicara secara singkat," ulas akademisi kelahiran Jember ini.
Menurut Firman, saat ini sejumlah kampus sedang berupaya mengembalikan komunikasi mahasiswa-dosen yang efektif dengan menyosialisasikan aturan etik cara mahasiswa menghubungi dosen. Kampus, masih menurut Firman, memandang perlu ada jarak antara mahasiswa dan dosen di sejumlah situasi, demi terjalinnya komunikasi yang efektif.
"Berbahasa, dalam hal ini antara mahasisawa dengan dosen itu kan sebenarnya perlu ada perbedaan dengan teman sendiri. Ketika diresapi, kok makin tidak berjarak antara dosen dengan mahasiswa. Kadang-kadang jarak itu dperlukan untuk efektivitas belajar-mengajar," ucap Firman.
Firman menuturkan dosen dan mahasiswa bisa saja berinteraksi layaknya teman pada saat tertentu. Namun, dalam konteks perkuliahan keduanya harus bisa menempatkan diri.
"Misalnya saya seorang dosen kedokteran, untuk mengajari mahasiswa dengan tegas setiap prosedur harus dilakukan dengan berurutan, misalnya. Itu kan tidak bisa sambil santai, selenge-an. Yang kaya begitu perlu," papar pengajar kelas pascasarjana UI ini.
Meski demikian, Firman mempertanyakan media banner yang digunakan kampus untuk menyosialisasikan petunjuk etik. "Apakah dosen saat ini sudah tidak punya wibawa lagi sehingga tidak cukup dengan petunjuk atau peringatan verbal," ujarnya.
(tor/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini