"Yang kami laporkan adalah pemilik akun @fadlizon dan @fahrihamzah yang telah mem-posting berita soal MCA dari Jawa Pos yang sudah diklarifikasi (oleh Jawa Pos) dan minta maaf," kata pengacara Muhammad Zakir Rasyidin, yang mendampingi pelapor, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (12/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari web resmi @jawapos menemukan bahwa ketua MCA adalah Ahoker. Jadi maling teriak maling dan ngaku Muslim segala. Ayok @DivHumas_Polri selesaikan barang ini. Jangan mau merusak nama Polri dengan menyerang identitas agama," tulis Fahri di akun Twitter-nya itu.
Cuitan Fahri itu kemudian di-retweet oleh Fadli Zon. Keduanya dinilai menyebarkan berita hoax dan ujaran kebencian karena tidak mengecek kembali kebenaran berita tersebut.
"Padahal posting-an itu sudah diklarifikasi oleh Jawa Pos. Tetapi FH (Fahri Hamzah) dan FZ (Fadli Zon) tidak mengklarifikasi maupun tidak meminta maaf," imbuhnya.
Hal ini dinilai sebagai penyesatan informasi karena keduanya adalah pejabat negara yang memiliki banyak pengikut. "Karena ini diduga dilakukan oleh pejabat negara yang banyak pengikutnya, jangan sampai apa yang disampaikannya menjadi pembenaran," tuturnya.
Fadli dan Fahri dilaporkan atas dugaan Pasal 28 ayat 2 jo 45 ayat 2 UU ITE. Laporan pelapor atas nama Muhammad Rizki tertuang dalam laporan bernomor LP/1336/III/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus.
Baca Juga: Muslim Cyber Army: Kami Bukan Grup Anonymous
Sementara itu, Ketua Cyber Indonesia Muannas Alaidid memaparkan alasan pelapor melaporkan Fahri dan Fadli ke Polda Metro Jaya. Salah satunya, dalam rangka mendukung pemerintah melawan hoax dan ujaran kebencian di media sosial.
"Kemudian karena yang melaporkan ini ada saksi yang dilaporkan FZ beberapa waktu lalu, jadi ini harus dinilai sebagai upaya mencari kebenaran materiil sebagaimana yang menjadi 'roh' dalam hukum pidana, khususnya soal sebutan 'arsitek hoax' yang belakangan marak dibicarakan di media," papar Muannas.
Di sisi lain, ia menilai membangun kritik dengan sentimen agama atau SARA harus dihentikan. Terutama jika hal itu tidak didukung data dan fakta yang akurat.
"Kami menilai ini bukan kebebasan berpendapat melainkan bagian dari ujaran kebencian, berbahaya karena dapat memecah belah masyarakat, saatnya hukum hadir dan menjadi kontrol," tandas Muannas. (mei/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini