Dua Pasien Busung Lapar di RS Cikini Diperbolehkan Pulang
Sabtu, 25 Jun 2005 14:18 WIB
Jakarta - Dua pasien busung lapar asal Jakarta yang dirawat RS PGI Cikini sudah diperbolehkan pulang. Tapi keduanya masih harus rawat jalan. "Saya tekankan, pasien yang sudah pulang harus melakukan rawat jalan atau mengecek kesehatannya karena persoalan kurang gizi ini sangat kompleks," kata dr Alfred Siahaan, dokter spesialis anak RS PGI, yang ditemui di ruang kerjanya, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (25/6/2005).Alfred menjelaskan, dalam 1-2 pekan ini RS PGI telah merawat 4 penderita busung lapar dari Jakarta Timur dan Jakarta Pusat, yaitu Ari Firmansyah, Ilan Susyandi (1,5), Roberto Siagian (2) dan Kuryati. Hari ini dua pasien dari Mataram, NTB, juga masuk.Dari keempat pasien dari Jakarta, yang sudah boleh pulang adalah Ari dan Ilan. Roberto yang menderita marasmus (kurang kalori) masih dirawat. Begitu juga Kuryati yang kondisinya masih lemah karena ada keterlambatan mental sehingga perlu perawatan lebih intensif.Ari dan Ilan walaupun sudah diperbolehkan pulang, bukan berarti sembuh total dari busung lapar. Dokter mengizinkan pulang karena menilai kalori dan protein yang masuk dalam tubuh mereka sudah cukup."Jadi bukan berarti sembuh dari penyakit. Untuk itu saya minta pihak Sudinkes DKI Jakarta dan Puskesmas untuk memantau mereka," kata Alfred.KontroversialAlfred mengakui, gejala busung lapar saat ini memang sangat fenomenal dan kontroversial. Ada yang mendebat apa benar balita-balita itu menderita busung lapar dan bukan kurang gizi. Padahal menurut Alfred, kedua istilah itu tidak ada yang salah. "Mungkin bagi orang awam, disebut busung lapar karena penderita kurang gizi biasanya perutnya membesar. Untuk istilah kedokteran sendiri lebih dikenal kurang kalori dan protein (KKB). Kedua istilah itu tidak ada yang salah. Kalau kita menyebutnya marasmus atau kwashiorkor (kurang protein) atau gabungan keduanya," papar Alfred.Untuk penyembuhan penderita busung lapar, dibutuhkan waktu panjang apalagi jika ada penyakit yang menyertainya seperti gangguan paru-paru, demam, pilek, batuk, badan lemas, dan gangguan pada otak. "Namun yang terpenting adalah pengobatan dengan cara memasukkan gizi dan vitamin ke dalam tubuh secara cukup," kata Alfred.Dia mencontohkan, misalnya pasien butuh pasokan gizi 1.500 gram per hari. Maka secara bertahap diberikan pada pasien gizi sebesar 500 gram, 1.000 gram, sampai 1.500 gram. Setelah mencapai itu, dianggap sudah memenuhi gizi dan boleh pulang. Namun tak jarang walaupun pasien diperbolehkan pulang, karena orangtua kurang pengetahuan atau ketidakmampuan secara ekonomi, kondisi pasien kembali memburuk. "Sebab itu butuh penanganan semua pihak termasuk Dinkes dan Puskesmas setempat," demikian Alfred.
(nrl/)