"Jangan tiba-tiba dikritik, misalnya saya kritik Pak Jokowi, kemudian pendukungnya bilang atau Pak Jokowi bilang, 'Ya sudah, Anda sudah kerjakan apa?'. Kritik kok kita disuruh kerja. Kritik ya kritik saja, jangan dibalikkan. Kalau saya mengkritik, jangan dikembalikan. Kalau begitu, tukaran saja, saya yang jadi presiden, Pak Jokowi jadi dosen atau jadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Nalar kita kebalik-balik," kata Dahnil di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Rabu (28/2/2018).
Menurutnya, ormas dan akademisi memang seharusnya mengingatkan para politikus. Dahnil sendiri menyebut politikus sebagai kesatria.
"Memang kami yang di ormas, di OKP, di kampus ya kerjaan kami ini. Kerjaan kami mengingatkan para kesatria. Mereka maju ke medan perang. Mereka maju untuk bertarung, yang sering melakukan perubahan ya mereka ini," ujarnya
Selain itu, Dahnil menyebut ada fenomena kemunculan 'fans boy' dan 'fans girl' terhadap tokoh politik. Para 'fans' politikus ini disebut Dahnil kerap membela habis-habisan para politikus yang disukai.
"Anak muda di Indonesia berubah hanya menjadi fans club, fans boy, fans girl. Anak-anak muda yang masuk politik jadi fans boy, fans girl. Ada orang mati-matian bela Ahok. Ahok salah, Ahok benar, pokoknya Ahok benar," sebut Dahnil.
"Mereka tidak adu gagasan. Mereka tweet war karena orang per orang. Tiba-tiba ada fans boy AHY. Semua yang dilakuin benar. Tiba-tiba ada fans boy Jokowi, semua yang dilakukan benar. Tiba-tiba ada fans boy Zulkifli Hasan, tiba-tiba semuanya benar. Ada fans boy Bang Rizal Ramli. Jadi kehilangan akal sehat," tuturnya.
Dahnil lantas menyinggung soal politik dinasti di Indonesia. Menurutnya, politik dinasti terjadi akibat pasar politik yang tidak kompetitif.
"Pasar politik kita tidak kompetitif. Yang bisa masuk ke pasar adalah yang punya modal. Yang punya darah 'ningrat' secara politik. Pasar politik kita bukan pasar politik kompetitif, pasar politik yang oligopoli," ujar dia. (haf/fdn)