Pengumuman penghentian cetak ini diumumkan merlalui surat No. 17/SIR/ BERNS/II/ 2018 yang ditandatangani oleh Manajer Sirkulasi Tedy Kartiyadi. Mereka bakal menghentikan proses cetak terhitung mulai 1 Maret 2018 dan beralih menjadi media online.
Jejak koran ini sangat panjang mengisi sejarah republik. Koran ini didirikan oleh Sumanang, pendiri Serikat Penerbit Suratkabar, kantor berita Antara, dan politisi Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dengan nama Nasional.
Kebijakan politik Sukarno untuk mewajibkan surat kabar berafiliasi dengan partai politik membawa Nasional ke dalam tubuh PNI. Helena E. Rea menuliskan artikel dalam website Pantau, edisi 2 Juli 2001 berjudul "Sengkarut Bernas". Dia mencatat koran ini tak meminta pendanaan dari PNI, tapi mencari uang dari pengelolaan dan manajemen mandiri.
![]() |
Nama Nasional kemudian berubah menjadi Suluh Indonesia dan memiliki edisi pusat (Jakarta) dan daerah. Nama ini berubah lagi menjadi Suluh Marhaen dan tetap memiliki edisi berdasar wilayah.
Tragedi 1965 menjadi bagian berat bagi Suluh Marhaen. Kebijakan Orde Baru memaksa mereka melepaskan afiliasi dengan partai politik. PNI, partai afiliasi Suluh marhaen, mendapat tekanan politik hingga oplah mereka turun.
Koran ini kembali mengubah nama menjadi Berita Nasional (Bernas). Namun penamaan ini mempengaruhi oplah karena perlu perkenalan kepada publik. Akibatnya tiras mereka hanya sekitar 500 eksemplar per hari.
Kehidupan koran ini-pun kembang kempis karena seperti melakukan usaha penerbitan dari nol. Kepemilikan saham perusahaan berubah. Mereka ramai-ramai membeli saham dan dibantu oleh pemilik percetakan Muria, Kusfandi.
Tak hanya itu, persoalan surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP) sempat mengganjal Bernas. Untungnya ada uluran tangan dari Kompas. Mereka sepakat membantu urusan SIUPP ini dan melakukan kerjasama kepemilikan dengan komposisi saham 35 persen untuk Kompas dan 45 persen gabungan pemilik saham lama.
Perjalanan koran ini menapaki orde baru diisi dengan kisah gemilang dan tragis. Pada 1991 Bernas mengirimkan wartawannya, Rizal Mallarangeng, ikut rombongan perdamaian internasional saat Perang Teluk. Ia menulis laporan bak wartawan legendaris kelas internasional hingga melambungkan nama Bernas.
Namun kisah tragis juga tak lepas dari Bernas. Salah satu wartawan mereka, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, dibunuh karena beritanya yang kritis terhadap pemerintah Bantul. Tulisan Udin soal politik maupun dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme membuat gerah beberapa pihak.
Udin dibunuh orang tak dikenal pada 13 Agustus 1996. Buku komik faktual 'Menagih Tanggung Jawab Polisi untuk (Alm) Udin' karya Sumiardi menyebutkan perjalanan kasus ini penuh dengan upaya rekayasa yang mendapat sorotan publik. Penyidikan polisi berbuah memalukan bagi institusi penegak hukum itu sendiri.
Polisi berupaya mengalihkan kasus pembunuhan ini dengan modus perselingkuhan yang melibatkan sopir perusahaan iklan, Dwi Sumaji alias Iwik. Rekayasa ini dilakukan dengan memaksa Iwik meminum berbotol-botol minuman keras, ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. Ia dibebaskan pengadilan pada 1997 tapi gugatan status tersangka yang disandangnya baru bisa lepas pada 2014 melalui sebuah persidangan.
Pada 13 Agustus 2018, kasus Udin akan memasuki usia 22 tahun. Kasus ini masih gelap dan menjadi salah satu coreng hitam yang akan terus membekas di muka penegak hukum.
Bukan tragedi ini yang membunuh Bernas. Pada 20 Mei 2015, kepemilikan koran ini berpindah ke Hebat Group, milik seorang pengusaha yang dijuluki raja kavling, Putu Putrayasa. Situs pribadi Putrayasa, putuputrayasa.com, menyebutkan ia berharap akan membangkitkan Bernas dengan berbagai kreasi saat membeli Bernas.
Namun zaman akhirnya memberi jawaban lain. Koran ini harus mengubah produknya. Kini percetakan koran sudah uzur dan beralih menjadi media online. Koran Bernas-pun telah menjadi sejarah republik ini.
(ayo/jat)