"Saya baru kembali dari Asmat, Papua. Saya dari Jakarta ke Denpasar, ke Timika, ke Agats. Itu harus naik pesawat dulu ke Ewer, Ewer ke Agats itu naik speedboat. Sampai Agats itu harus naik ojek untuk keliling," ucap Puan mengawali ceritanya dalam seminar nasional bertajuk 'Ilmuan Pejuang, Penuang Ilmuan: Peran Prof Dr M Sardjito MPH dalam Revolusi Kemerdekaan, Kemanusiaan, Pendidikan dan Kebangsaan' di Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (27/2/2018).
Menurut Puan, butuh upaya yang luar biasa untuk memperbaiki keadaan di Asmat. Puan juga bercerita soal gaya hidup masyarakat di sana yang menurutnya menjadi salah satu penyebab kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk di Asmat beberapa waktu yang lalu. Menurut Puan, bantuan dan kekayaan alam yang ada banyak yang tidak dimanfaatkan masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bukan karena negara tidak hadir, negara hadir, hanya bagaimana kita mengedukasi masyarakat perlu afirmasi yang luar biasa. Betapa beratnya geografis menuju ke salah satu kabupaten di Papua. Kalau kapal biasa, itu harus 10 jam dari Timika ke Asmat," ucap Puan.
"Bantuan nggak bisa dikasih saja. Itu nggak akan digunakan. Di sana kepiting sama kerang banyak, itu harusnya nggak ada kekurangan gizi. Mereka bilang 'capek ibu kalau harus cari seperti ini'. Bahasa saja beda-beda, bupati saja sulit. Dikasih susu, katanya itu bukan susu, itu minuman putih. Saya panggil bupati ini bagaimana cara ngomongnya. Saya panggil Mendikbud, ini bagaimana caranya bisa edukasi dengan mudah," imbuh Puan.
Selain itu, Puan juga menceritakan soal warga yang tidak paham soal kecil besarnya nilai uang. Puan mengetahui itu saat ia ingin membeli tas yang dibuat warga setempat.
"Ada yang lucu saat saya kasih KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan keluarga harapan. Saya bilang, digunakan dengan baik mengerti? Mengerti. Uangnya jumlahnya segini mengerti? Mengerti. Nanti, pak bupati dan wakil bupati akan ada di sini. Warga tepuk tangan, jadi diharapkan keberadaan bapak, jangan ke mana-mana," ucap Puan.
"Mereka nggak tahu apakah uang itu sedikit apa banyak. Saya tanya berapa harganya tas? Rp 1 juta jawab mereka. Saya bilang mana ada yang mau beli di sini Rp 1 juta. Dia bilang 'nggak apa-apa mama, yang penting Rp 1 juta'," sambung Puan.
Selanjutnya, Puan menyebut masyarakat di sana enggan belajar cara masak yang baik. Biskuit untuk tambahan gizi bagi ibu hamil dan anak-anak juga tak digunakan karena tidak mau memasak air panas.
"Ada warung kecil. Saya panggil ibu-ibu, kenapa nggak belajar masak di situ? Dijawab 'Capek ibu. Biar saja mereka masak, kita makan', ini masalahnya," sebut Puan.
"Dikasih biskuit untuk tambah gizi nggak dimakan. Malas buat air panasnya. Pendampingan harus terus menerus," imbuhnya.
Puan pun menyatakan keberhasilan Sardjito membuat biskuit untuk membuat para tentara bertahan hidup pada masa lalu harus menjadi pelajaran. Menurutnya jika masyarakat diedukasi, maka bisa memanfaatkan bantuan yang diberikan untuk perbaikan gizi.
"Keberhasilan Prof Sardjito dilandasi bekal keilmuan dan kesehatan. Salah satu yang dikenal obat herbal dan biskuit Sardjito sebagai penyambung nyawa di masa perang. Kalau dulu sudah ada biskuit, kenapa sekarang nggak bisa bermafaat di wilayah, masyarakat harus diedukasi," pungkas Puan. (haf/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini