"Oh, nggak (didoktrin untuk menyerang), nggak. Mereka punya halusinasi sendiri. Tapi jadi begini kalau kita stres, kita keluar halusinasi sendiri. Halusinasi-halusinasi itu tergantung. Jadi tidak bisa disetir, nggak ada. Macam-macam sih, ya. Karena tergantung orangnya. Tergantung apa yang dialami pikirannya," kata Nila saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Menurut Nila, orang yang mengalami hal demikian harus segera diobati. Sebab, halusinasi serupa bisa terulang lagi.
"Itu harus diobati karena dia terus terhalusinasi. Jadi dia selalu ada yang bisik di telinganya. Jadi dia merasa ada yang bisiki. Misalnya dia bilang, saya pernah tanya, kamu kenapa? Bapak saya mau bunuh saya, bapak saya mau bunuh saya. Itu terus. Bapaknya mungkin nggak mau bunuh dia, tapi di benak dia itu terus. Nah, itu bisa memicu dia kalau bapaknya dia pikir mau bunuh, dia duluan yang membunuh. Jadi kita harus obati. Berikan obat penenang, obat ini supaya dia hilang. Tidak muncul. Kita tekan dulu, pelan-pelan kita bimbing lagi," kata Nila.
Nila menjelaskan, gangguan kejiwaan ini bisa berawal dari stres yang dialami. Stres bisa berkembang hingga menyebabkan depresi.
"Misalnya diam sampai benar-benar dia menjadi skizo, yang kamu lihat gila, maaf, saya minta maaf, sudah nggak pakai baju di jalan. Nah, bisa sampai begitu. Kami tentu mengharapkan deteksi dini itu sebelum dia jatuh sampai seperti itu harus terus diobati. Bisa dengan psikolog, psikiater. Jadi artinya diberi ruang untuk kita untuk bisa dia curhatlah," katanya. (jor/fdn)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 