Saat Cakradana menjadi syahbandar Pacinaan, pada 1671 di Banten, ada tiga jalan yang dibangun cukup baik. Di masing-masing sisi ada 20 rumah bata dan toko untuk menampung orang Tionghoa. Jalan tersebut, ditulisnya sebagai pembangunan yang dibiayai Cakradana sendiri.
Di tahun yang sama, tulis Guilllot, ada dua jembatan batu yang dibangun di bawah kepemimpinan Cakradana. Satu di dalam kota di sebelah utara istana, dan satu lagi jembatan untuk melintas dari kota raja ke daerah niaga di Karangantu.
![]() |
Jembatan di Karangantu, sebagaimana digambarkan oleh C. De Bruijn adalah jembatan buka-tutup yang memungkinkan kapal berlalu lalang di sungai. Sedangkan yang di utara istana, adalah jembatan yang dikenal sebagai Jembatan Rantai. Sebuah jembatan yang bisa diangkat dan diturunkan.
Namun, Guillot menulis bahwa pembangunan jembatan dengan teknik tersebut tidak ditemukan di China. "Jadi, harus disimpulkan bahwa jembatan aslinya telah diubah setelah 1682, ketika orang Belanda yang ahli dalam pembuatan jembatan buka-tutup menduduki kota," tulis Guillot.
Sementara itu, saat benteng yang dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf pada seratus tahun sebelumnya sudah berlubang, Cakradana mulai membangun pertahanan di sisi laut di sebelah barat. Pembangunan tembok pertahanan ini dimulai, menurut Guillot, begitu Cakradana menjadi syahbandar utama kesultanan pada 1677.
Proyek pembangunan ini, berlangsung lebih dari satu tahun dan selesai pada 1679 saat Sultan Ageng datang dari Tirtayasa untuk mengamati. Sebuah dokumen Perpustakaan Nasional di Paris menggambarkan bahwa pembangunan tembok oleh Cakradana di sisi barat dan timur bergaya sama dengan yang ada di utara. Selain itu, ada sebuah benteng pertahanan di Carang Ontongh (Karangantu) di tepian lain muara timur di luar kota yang dibangun olehnya.
Ia menuliskan, yang dibangun oleh Cakradana adalah sebuah tembok yang tebal dari batu karang dan adukan kapur. Karang tersebut diambil di sekitar pulau oleh para tahanan khususnya para pecandu. Juga disiapkan sebuah tungku pembakaran di Pacinaan. Selain itu, tembok-tembok ini juga diperkuat oleh empat buah menara di sepanjang sisinya.
"Diperlukan keahlian yang tidak kami miliki untuk menentukan sumber-sumber yang mengilhami Cakradana dalam proyek arsitektur yang tiada bandingnya di Nusantara pada zaman itu," tulis Guillot.
![]() |
Sayangnya, setelah Belanda merebut Banten pada 1682, mereka meruntuhkan pertahanan yang dibuat Cakradana tersebut. Namun, mereka juga terkesan dengan sistem pertahanan yang dibuat oleh Cakradana.
Guillot juga menulis, karya arsitektur Cakradana hanya sedikit yang tersisa. Jembatan di kota telah diubah dan dibangun kembali sejak akhir abad ke-17. Sedangkan benteng telah dihancurkan sampai fondasi di timur Speelwijk oleh Belanda pada 1687.
Namun, sisa karya Cakradana di benteng yang sekarang Cagar Budaya Speelwijk tersebut ada sebagian tembok yang dipertahankan di bagian utara yang menghadap ke laut. Tembok di bagian ini menurutnya memilihi bahan dan pengarapan berbeda di banding yang lainnya."Inilah sepenggal tembok kota lama, karya Cakradana," tulis Guillot.
Pantauan detikcom pada Kamis (15/2/2018), di bagian utara tembok Benteng Speelwijk yang menghadap ke laut, mayoritas bangunan terbuat dari bahan batu karang dan adukan kapur. Sementara itu, di sisi lain penggarapan bangunannya terbuat dari bata merah.
Benteng Speelwijk yang sebagian fondasinya dibuat Cakradana sekarang dalam kondisi memprihatinkan. Kanal yang mengelilingi benteng di sampingnya berdiri bangunan liar. Selain itu, di dalam benteng sekarang digunakan menjadi lapangan bola penduduk setempat. Yang lebih parah, di sudut-sudut benteng menjadi tempat warga untuk membuang air besar sembarangan. (bri/jat)