"Yang jelas, pasal tersebut bertentangan dengan prinsip umum yang hakiki kesamaan di depan hukum, equality before the law, dan sekaligus bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut bahkan pernah dibatalkan oleh putusan MK," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Senin (12/2/2018).
Namun Syarif mengaku tak ada masalah soal pemanggilan anggota DPR untuk dimintai keterangan dalam kasus korupsi. Menurutnya, KPK berpegang pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, DPR melalui rapat paripurna mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Di dalamnya, terdapat sejumlah pasal kontroversial, salah satunya soal mekanisme pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum.
Pasal 245 UU MD3 yang baru disahkan itu mengatur semua anggota DPR, jika dipanggil penegak hukum, harus mendapat izin tertulis dari Presiden RI setelah mendapat pertimbangan dari MKD DPR. Aturan ini tak berlaku andai anggota DPR terjerat tindak pidana khusus. Selain itu, aturan ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 245:
1. Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
2. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus. (haf/dhn)











































