"Saya tidak setuju dengan istilah penyanderaan," kata Ace pada wartawan, Jumat (9/2/2018).
Revisi terhadap Pasal 73 itu menyebutkan bahwa polisi wajib membantu DPR dalam upaya pemanggilan paksa. Apabila obyek yang dipanggil mangkir tiga kali berturut-turut, DPR dapat meminta bantuan polisi untuk melakukan penyanderaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permintaan DPR kepada kepolisian untuk membantu jika ada pihak yang mangkir apabila dimintai keterangan oleh DPR, bukan berarti harus dilakukan dengan penahanan. Saya kira penafsiran itu terlalu jauh ya," urainya.
Meskipun demikian, Ketua DPP Partai Golkar itu sebetulnya tak menampik bahwa DPR sebagai lembaga legislasi memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Ia pun berharap masyarakat dapat memahami tugas dan fungsi DPR terkait fungsi pengawasan.
"Sebagai lembaga yang mewakili rakyat dan kewenangannya diatur dalam konstitusi, DPR RI memiliki hak untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Tentu setiap warga negara harus menghormati keberadaan kelembagaan yang bekerja sesuai dengan tupoksi (tugas pokok fungsi) DPR tersebut," ujarnya.
Sementara itu sebelumnya anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, menyebutkan bahwa penyanderaan yang dimaksud dalam Pasal 73 RUU MD3 itu dapat berupa penahanan oleh kepolisian.
Menurutnya, itu dapat dilakukan apabila objek yang dipanggil tidak hadir selama tiga kali berturut-turut.
"Ya kayak ditahan sementara lah. Itu kalau dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas, ya DPR diberi kewenangan melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian," jelas Masinton.
Revisi dalam Pasal 73 menyebutkan secara jelas bahwa kepolisian dapat melakukan 'penyanderaan' maksimal 30 hari kerja dalam rangka pemanggilan paksa. Untuk melakukan hal tersebut, pimpinan DPR dapat mengajukan permintaan tertulis kepada kepolisian untuk kemudian ditindaklanjuti.
(tsa/dnu)











































