Baleg Minta Pembahasan RUU Penyiaran Ditunda

Baleg Minta Pembahasan RUU Penyiaran Ditunda

Tsarina Maharani - detikNews
Kamis, 01 Feb 2018 13:21 WIB
Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo/Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Soebagyo meminta pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran ditunda. Hal ini dimaksudkan agar RUU Penyiaran tetap dapat dibahas melalui rapat pleno Baleg sebelum dibawa ke rapat paripurna DPR.

"Nanti kami akan bertemu pimpinan DPR. Kami akan menjelaskan tentang masalah ada beberapa UU yang harus diperhatikan. Kami minta agar ini bisa ditunda dan tetap dibahas melalui mekanisme di Baleg," ujar Firman pada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/2/2018).

Hal ini terkait polemik dalam pembahasan RUU Penyiaran yang belum menemukan keputusan bulat soal model penguasaan frekuensi antara multi mux versus single mux. Di lain sisi, Komisi I DPR telah menyarankan agar diterapkan konsep single mux.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komisi I DPR juga menyebut pembahasan RUU No 32/2002 sudah terlalu lama. Oleh karena itu, Komisi I DPR menginginkan agar RUU Penyiaran ini dapat segera diputuskan dalam rapat paripurna.

Namun, Firman menyebutkan saran ini belum menjadi keputusan bersama. Ia pun menolak bila Komisi I DPR membawa putusan itu ke sidang paripurna tanpa melalui rapat pleno Baleg.

Firman pun mengungkapkan kekhawatirannya apabila konsep single mux diterapkan. Menurutnya penerapan itu akan berkonsekuensi terhadap pengangguran besar-besaran di industri penyiaran swasta serta bertentangan dengan asas demokrasi penyiaran.

"Yang kita pikirkan keberadaan lembaga penyiaran swasta yang existing. Ini kalau terjadi keputusan single mux akan ada pengangguran besar-besaran," kata Firman.

"Tenaga-tenaga profesional yang ada di pertelevisian swasta ini akan jadi pengangguran. Karena televisi swasta ke depan akan seperti production house. Semua dikendalikan lembaga penyiaran pemerintah. Ini yang tidak kami inginkan dan tidak menjamin demokrasi penyiaran," imbuh Firman.

Oleh karena itu, Firman mengatakan pihaknya berusaha mencarikan jalan keluar dengan model sintesis single dan multi mux yakni hybrid. Pada model ini, pemerintah dan swasta membagi jatah frekuensinya.
Dengan konsep hybrid, negara dan pengelola swasta menurut Firman mendapatkan hak yang sama. Nantinya akan diatur soal kepemilikan frekuensi yang diperbolehkan pada masing-masing instansi penyiaran swasta.

Sementara itu, model multi mux berarti penguasaan frekuensi dipegang oleh banyak pemegang lisensi, meliputi perusahaan-perusahaan penyiaran swasta dan pihak pemerintah. Model single mux berarti sebaliknya, penguasaan frekuensi sepenuhnya ada di tangan negara.

Namun, soal keputusan model apa yang akan ditetapkan dalam UU Penyiaran, ia hanya berharap keputusan itu dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Firman tidak ingin ada monopoli yang dilakukan baik oleh pihak swasta maupun negara.

"Soal nanti keputusannya apakah akan single mux atau hybrid, ini UU bisa menjawab memberikan sebuah kepastian hukum pada semua pihak. Tak ada diskriminasi. UU dibuat utk memberikan rasa keadilan dan UU dibuat dalam rangka berikan kepastian hukum. Jangan sampai UU dibuat menggeser monopoli di tempat lain dialihkan ke lembaga lain. UU juga harus bisa jamin eksistensi pelaku usaha di mana dunia usaha pilar ekonomi nasional dan jangan sampai timbulkan dampak pengangguran dan sebagainya. Ini yang kita pikirkan," pungkas dia.

Agus Hermanto: Forum Tertinggi di Paripurna

Wakil Pimpinan DPR Agus Hemanto menilai pembahasan RUU Penyiaran ini telah terlalu lama. Ia juga menegaskan bahwa keputusan tertinggi tetap ada dalam rapat paripurna DPR.

"Yang jelas UU ini sudah cukup lama dan ini sangat dibutuhkan masyarakat. Kalau kita melihat kemajuan jaman juga kan sekarang sudah banyak yang menggunakan digital. Ini masih ada perdebatan antara digital dan analog. Ada yang mau ambil jalan tengah hybrid segala macem. Tentu nanti kita ambil keputusan. Pengambilan keputusan kan tidak di Baleg. Kan pengambilan keputusan tertinggi adanya di paripurna," kata Agus hari ini.

Model multi mux berarti penguasaan frekuensi dipegang oleh banyak pemegang lisensi, meliputi perusahaan-perusahaan penyiaran swasta dan pihak pemerintah. Model single mux berarti sebaliknya, penguasaan frekuensi sepenuhnya di tangan pemerintah. (fjp/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads