Selepas menjadi tentara dengan pangkat Letnan Muda pada 1952, Daoed Joesoef menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI). Ketika menjadi menteri pendidikan (1978-1983), dia cuti mengajar dan kemudian meminta pensiun dini selepas menjadi menteri. Lektor Kepala, pangkatnya terakhir sebagai dosen.
Selama berkiprah di UI, Daoed Joesoef antara lain berjasa dalam menjalin kerja sama antara FE-UI dan Departemen Keuangan serta Bank Sentral dalam menghitung pendapatan nasional. Ikut membangun FE di berbagai daerah menurut model The Jakarta School of Economics atas instruksi Dekan FE UI Prof Soemitro Djojohadikoesoemo. Dia juga membentuk jurusan baru studi Ekonomi Pemerintahan yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.
Tapi semua itu seperti dinafikan oleh para petinggi FE UI di kemudian hari. Daoed Joesoef bukan cuma tak dilibatkan dan diminta menulis dalam Buku Kenangan Empat Dasa Warsa FE UI yang terbit pada 1990, namanya pun tak tercantum dalam daftar nama dosen.
"Ya, begitulah adanya. Rupanya kehadiranku di lingkungan FE UI bagai keberadaan The Ugly Ducking dalam dongeng Hans Christian Anderson. Namun, aku bangga. Aku memang bukan 'anak bebek' tapi 'anak angsa'," tulis Daoed Joesoef dalam Rekam Jejak Anak Tiga Zaman yang dikutip detik.com, Kamis (25/1/2018).
Pada bagian lain, doktor ekonomi lulusan Universitas Sorbone, Prancis itu mengaku pernah merobek-robek surat pengangkatan dirinya sebagai guru besar FE UI. Alkisah,pada pertengahan Juni 1978, dekan FEU UI Dr Djuanedi Hadismuarto datang menemuinya di Departemen Pendidikan. Dia membawa surat yang menyatakan keputusan Dewan Guru Besar FE-UI tentang pengangkatan Daoed menjadi guru besar. Surat itu perlu persetujuan Menteri Pendidikan yang nota bene adalah dirinya sendiri.
"Setelah membaca isinya, surat itu aku robek-robek dan memberikan robekannya kepadanya (Djunaedi)," tulis Daoed Joesoef. "Ini suatu penjilatan," kata Daoed kepada Dekan FE-UI itu kemudian. "Aku tidak suka perbuatan ini. Sampaikan hal ini kepada geng mafia, teman-temanmu yang sedang memimpin fakultas."
Daoed pantas masygul karena dirinya merasa kumulasi kredit akademisnya sudah lama memenuhi untuk diangkat menjadi Profesor. Tapi kenapa hal itu baru dilakukan ketika dirinya menjadi menteri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahkan sesama lulusan Berkeley pasca Widjojo Nitisastro juga ada yang tak menurut dengan seniornya, seperti Dorodjatun Kuntjoro Jakti," kata Rhenald kepada detik.com, Kamis (25/1/2018).
Salah satu buktinya, dia melanjutkan, Dorodjatun ikut protes ketika peristiwa Malari 1974 dan dipenjara tanpa proses pengadilan. "(Tapi) saya hanya menjadi penonton saja waktu itu,"
'Yang dari Berkeley berada dibawah Prof Widjojo Nitisastro, dan ada kelompok lainnya. (Jadi) bukan hanya dengan Daoed yang lulusan Paris (Sorbone) saja," kata Rhenald.
(jat/jat)