Kejaksaan Agung menetapkan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat KB tahun anggaran 2015. Tersangka baru yang ditetapkan adalah Sanjoyo, yang menjabat direktur di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat kasus terjadi.
"Hari ini tim penyidik memanggil kembali saksi Sanjoyo. Dari hasil pemeriksaan, tim penyidik berdiskusi, kita bahas bersama, ternyata dari hasil pemeriksaan dan dihubungkan dengan fakta hukum yang lain dari hasil penyidikan selama ini, maka dinilai dan disepakati terhadap Saudara SJ tadi memenuhi syarat secara hukum ditetapkan sebagai tersangka," kata Jampidsus Kejagung Adi Toegarisman di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2018).
Adi menerangkan, saat pengadaan, Sanjoyo menjabat kuasa pengguna anggaran (KPA) yang merangkap pejabat pembuat komitmen (PPK). Dia dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pengadaan.
"Selaku KPA merangkap PPK. Dia yang tanda tangan kontrak, proses pembayaran dsb. Kasusnya adalah pengadaan yang di-markup. Ada persekongkolan, kira-kira intinya begitu. Ada juga dukungan perusahaan hanya diarahkan ke satu rekanan. Itu kompleks," kata Adi.
Namun penyidik belum menahan Sanjoyo. Penyidik menyita sejumlah dokumen sebagai alat bukti.
Dalam perkara ini, diperkirakan jumlah kerugian negara Rp 38 miliar. Adi menyebut Rp 11 miliar telah dikembalikan kepada negara.
"Sudah ada upaya pengembalian kerugian negara dari dua kasus (kasus pengadaan alat KB 2014-2015) ini sebesar Rp 11 miliar," ujarnya.
Dalam kasus ini, Kejagung sebelumnya menetapkan empat tersangka. Keempatnya adalah Direktur Utama PT Triyasa Nagamas Farma berinisial YW, Direktur PT Djaja Bima Agung berinisial LW, mantan Kasi Sarana Biro Keuangan BKKBN berinisial KT, serta Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty (SCS).
Kasus ini bermula saat Satuan Kerja Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi pada Direktorat Jalur Pemerintah BKKBN Pusat melaksanakan kegiatan pengadaan susuk KB II/Implan Batang Tiga Tahunan Plus Inserter pada 2014 dan 2015. Pagu anggaran saat itu Rp 191 miliar, yang bersumber dari APBN sesuai dengan DIPA BKKBN.
Saat proses pelelangan berlangsung, terdapat penawaran harga yang dimasukkan oleh para peserta lelang ke satu kendali, yakni PT Djaya Bima Agung. PT Djaya Bima Agung juga sebagai peserta lelang sehingga harga-harga tersebut adalah harga yang tidak wajar.