Warga di Kampung Maros Ini 90 Persen Tak Bisa Baca Alquran

Warga di Kampung Maros Ini 90 Persen Tak Bisa Baca Alquran

M Bakrie - detikNews
Kamis, 11 Jan 2018 18:49 WIB
Warga di Kampung Maros Ini 90 Persen Tak Bisa Baca Alquran
Foto: Bakrie
Maros - Bukan hanya persoalan pendidikan yang membuat kita miris terhadap Kampung Bara-baraya, Dusun Tanete Bulu, Desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros. Yang tak kalah miris adalah persoalan keagamaan.

Meski terdapat satu masjid, tidak sekali pun kita mendengar suara azan bergema dari masjid seperti di kampung-kampung lainnya. Karena jarang digunakan, masjid sederhana yang berdinding kayu beralas tikar plastik ini terlihat tidak terurus. Mimbarnya pun hanya ada tulisan nama Masjid Babu Taubah dari kapur.

Kondisi ini akibat minimnya pengetahuan agama. Jangankan untuk salat, membaca Alquran saja mereka tidak bisa. Karena sejak dulu tidak ada guru mengaji.
Warga di Kampung Maros Ini 90 Persen Tak Bisa Baca Alquran

Rata-rata, warga hanya menghafal surah Al-Fatihah dan tiga surat pendek, yakni An-Nas, Al-Ikhlas, dan Al-Falaq. Sedangkan bacaan salat lainnya mereka tidak hafal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami sangat mau belajar, tapi sejak dulu tidak ada guru mengaji di sini. Makanya hampir semua warga tidak ada yang tahu baca Alquran," kata salah seorang warga, Daeng Raga, Kamis (11/1/2018).

Namun, kata dia, saat bulan Ramadan, warga menjalankan ibadah puasa dan salat tarawih di masjid. Biasanya mereka mendatangkan seorang ustaz dari kampung sebelah untuk menjadi imam selama sebulan.

"Kalau bulan Ramadan, kami semua puasa dan salat tarawih. Kami datangkan ustaz dari kampung lain untuk menetap di sini selama sebulan," lanjutnya.

Kondisi ini pulalah yang menjadi perhatian sekelompok anak muda dari berbagai komunitas untuk membuat program pemberantasan buta huruf Hijaiyah bersama Sekolah Kolong Project.

Hanya, diakui oleh relawan, mengajar warga ini harus dengan metode 'jemput bola'. Pasalnya, mulai pagi hingga petang, semua orang dewasa sibuk dengan aktivitas di sawah dan kebun.

"Satu-satunya cara dengan mendatangi mereka saat malam hari. Mereka sebenarnya sangat ingin belajar, tapi memang tidak ada guru dan metodenya harus jemput bola," ujar salah seorang relawan, Wahyudin.

Alumnus STIEM Boengaya ini juga mengaku memiliki keterbatasan tenaga relawan pengajar. Karena itu, ia berharap semua pihak yang ingin bekerja sama bisa turut serta. (asp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads