"Apa alasan Anda mengeluarkan surat pencabutan rekomendasi?" tanya salah satu jaksa kepada Atikurahman di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (4/1/2018).
"Karena titik-titik koordinatnya tidak jelas," jawab Atikurahman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu itu belum sampai surat dari PT INCO. Setelah suratnya itu sampai baru saya tahu," ujar Atikurahman.
Jaksa juga sempat menanyakan apakah saat surat permohonan rekomendasi yang dibawa oleh Kabid Petambangan Umum Dinas ESDM Burhanuddin diserahkan disertai lampiran titik koordinat wilayah tambang atau tidak. Atikurahman sempat meminta pertanyaan diulang.
Setelah pertanyaan diulangi, jaksa sempat meninggikan suara. "Jangan marah-marah Pak," kata Atikurahman.
Jaksa pun mengulangi pertanyaan yang sama soal keberadaan lampiran saat Burhanuddin membawa surat permohonan rekomendasi. Karena Atikurahman lama menjawab, jaksa meminta ia istighfar.
"Istighfar dulu Pak," kata jaksa kepada Atikurahman.
"Astaghfirullah, saya bukan Novanto ini Pak," jawab Atikurahman.
"Kami nggak pernah bilang Bapak Novanto," jelas jaksa.
Jaksa kemudian mengulangi pertanyaan yang sama. Atikurahman pun menjawab dengan lancar.
"Ada, baru teringat saya Pak," ucap Atikurahman.
Jaksa kemudian menanyakan kembali kepada Atikurahman apakah pembatalan juga dilakukan karena informasi soal masih tumpang-tindih kontrak karya dari Kadis Pertambangan Kabupaten Bombana saat itu, Cecep Trisnajayadi. Atikurahman pun membenarkan hal itu.
Sebelumnya, Nur Alam disebut melakukan korupsi dengan modus menerbitkan surat izin usaha pertambangan yang dibikin seolah-olah sesuai prosedur, padahal tidak. Izin itu diberikan karena adanya surat permohonan pencadangan wilayah pertambangan 3.024 Ha kepada Nur Alam selaku Gubernur Sultra yang mana lokasi dimohonkan PT Anugerah Harisma Barakah sebagian berada di lokasi yang sama dengan lokasi kontrak karya PT International Nickel Indonesia pada blok Malapulu di Pulau Kabaena.
Atas perbuatannya, Nur Alam didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2.781.000.000 dan korporasi PT Billy Indonesia Rp 1.593.604.454.137. Jaksa juga menyebut negara mendapatkan kerugian sebesar Rp 4.325.130.590.137 atau Rp 1.593.604.454.137. (HSF/dhn)