Fadli membuka catatannya dengan mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Sepanjang 2017, menurut Fadli, pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan. Fadli menyebut berbagai survei tentang kinerja pemerintahan Jokowi selalu menempatkan hukum, selain ekonomi, sebagai sumber utama ketidakpuasan masyarakat.
"Pemerintah seharusnya menyadari jika keadilan hukum merupakan salah satu alat untuk menciptakan stabilitas dan kohesi sosial. Itu sebabnya pemerintah tak boleh melakukan politisasi hukum. Adanya standar ganda dalam bidang penegakan hukum bisa mengancam kohesi sosial dan melonggarkan tenun kebangsaan," kata Fadli dalam pernyataan tertulis, Sabtu (30/12/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Fadli, pemerintah kerap mengistimewakan sekutunya, tapi mengkriminalisasi lawan-lawan politiknya. Fadli mencontohkan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Fadli mengungkit Ahok tak kunjung diberhentikan padahal sudah duduk di kursi terdakwa dalam kasus penistaan agama. Wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat V ini membandingkan perlakuan pemerintah terhadap Ahok dengan kepala daerah lain yang juga tersandung kasus.
"Padahal Gubernur Sumut Syamsul Arifin dulu disidangkan perdana tanggal 14 Maret 2011. Pada 21 Maret 2011 Keppres pemberhentian sementaranya sudah diteken Presiden SBY. Begitu juga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Ia disidang perdana 6 Mei 2014, dan pada 12 Mei 2014 Keppres pemberhentian sementaranya juga segera diterbitkan Presiden SBY. Atau, coba lihat kasus Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dulu. Bahkan meskipun yang bersangkutan belum berstatus terdakwa, pemerintah segera memberhentikannya secara sementara pada Agustus 2015. Ini adalah bukti jika pemerintah telah mempermainkan hukum, melalui tafsir yang diskriminatif, hanya demi membela kepentingan sekutunya," ulas Fadli.
Masih soal Ahok, Fadli mengungkit penahanan Ahok di Rutan Mako Brimob yang dinilai mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah. Seharusnya, dia menambahkan, sesuai dengan aturan, Ahok harus ditahan di lapas, bukan di rutan.
"Tapi kenapa aturan tersebut tak berlaku untuk terpidana Basuki (Ahok)? Inilah salah satu noda hitam dalam penegakan hukum sepanjang tahun 2017," ujarnya.
Fadli lalu menyebut pemerintah mengkriminalisasi lawan-lawan politik dengan berbagai tuduhan, dari penyebar hoax hingga hate speech. Perlakuan diskriminatif dan upaya kriminalisasi itu, kata Fadli, bisa dilihat dari perlakuan penegak hukum dalam menggunakan pasal yang ada di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Coba catat siapa saja yang menjadi tersangka dengan delik-delik tadi? Pada tahun 2017, ada beberapa orang yang pernah dijerat dengan UU ITE, antara lain Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Asma Dewi, Buni Yani. Semuanya adalah mereka yang selama ini berbeda haluan politik dengan pemerintah. Tidak ada 'buzzer Istana' yang pernah diperiksa polisi," ujarnya.
Fadli mengungkit proses hukum terhadap Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Al Khaththath. Namun, menurutnya, Viktor Laiskodat dan Nathan, yang juga dilaporkan, tak kunjung diproses hukum. Fadli menyebutnya sebagai diskriminasi hukum.
"Di sisi lain, kasus Asma Dewi dan Saracen, misalnya, saat awal muncul dulu diekspos bombastis, bahkan ekspose kasus itu menurut saya melampaui fakta-fakta yang telah ditemukan polisi. Nama itu dikaitkan dengan Prabowo dan sebagainya, seolah ini adalah sejenis jaringan iluminasi. Namun, saat persidangan akhir November 2017 kemarin, tak ada lagi kata Saracen dan tuduhan transfer dana yang katanya besar dalam berkas tuntutan jaksa di pengadilan kepada Asma Dewi," ujar Fadli.
"Jadi, siapa sebenarnya yang gemar memproduksi hoax? Bagi saya, itu adalah kasus yang memalukan dan mempermalukan aparat penegak hukum sendiri," imbuh alumnus UI ini.
Pemerintah, kata Fadli, seharusnya menyadari bahwa keadilan merupakan hal penting dalam kehidupan bernegara. Keadilan hukum merupakan syarat fundamental bagi terwujudnya kesejahteraan.
"Persoalannya, keadilan hukum ini bisa hilang jika aparat penegak hukum kita bekerja berdasar kepentingan tertentu atau pesanan. Rusak sistem hukum kita. Aparat penegak hukum seharusnya menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas. Karena di pundak merekalah wibawa hukum diletakkan. Semoga catatan hitam dunia hukum di tahun 2017 ini tak berlanjut di tahun depan," tutupnya. (tor/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini