"Saya mau memperjuangkan hak-hak wanita. Banyak wanita diperlakukan tidak adil, dicerai tidak boleh protes atau ke pengadilan. Hal ini amat menyakitkan hati saya."
Maria Ulfah mengungkapkan hal itu sebagai alasan ketika selepas HBS (SMA) pada 1929 dirinya memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Padahal sang ayah, Raden Mochammad Achmad, menghendaki agar Itje (panggilan Ulfah) untuk menjadi dokter.
Dia sengaja memilih mendalami ilmu hukum karena dalam pandangannya, kedudukan perempuan secara hukum masih sangat lemah, sehingga perlu diperbaiki, setidak-tidaknya dalam konstruksi hukum.
Dia kampung halamannya, Serang β Banten, Maria melihat sendiri ada seorang perempuan yang sudah menikah dipulangkan ke rumah orang tuanya karena sakit. Lalu, dengan seenaknya, si suami menjatuhkan talak.
Tak melulu belajar ilmu hukum, Maria juga meluangkan waktu untuk aktif berorganisasi. Dia antara lain menjadi anggota perhimpunan mahasiswa mahasiswi Leiden, Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden (VVSL). Berkat pergaulannya itu keinginan ikut serta dalam gerakan emansipasi kaum perempuan kian menyala.
Selama di Belanda pula, Maria Ulfah berkenalan dengan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatt. Sjahrir diakui banyak memberi pengaruh secara ideologis kepadanya. Bersama Sjahrir, Maria Ulfah mengikuti rapat-rapat politik dan kemampuan dan ketangguhan dalam berpolitiknya.
![]() |
Melalui kedudukannya, Maria Ulfah banyak berjuang untuk kepentingan wanita Indonesia, salah satunya dengan mengkritik Undang-undang perkawinan yang baru di keluarkan Kementrian Agama saat itu.
UU Perkawinan itu dipandang tidak adil terhadap kaum wanita karena wanita selalu dipersulit apabila ia akan minta cerai pada suaminya. Sebaliknya sang suami dengan mudah dapat menceraikan istrinya kapan saja. Dia lantas memimpin sebuah badan untuk memeriksa penggantian UU Perkawinan agar memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan perceraian.
Lebih dari 20 tahun kemudian, perjuangan Maria Ulfah baru tercapai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-undang nomor 7 tahun 1989, yang memberikan hak yang sama kepada suami atau istri. Mulai saat itu baik suami ataupun istri dapat mengajukan perceraian melalui sidang Pengadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(jat/jat)