Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap pasal yang melarang pekerja satu perusahaan untuk menikah. Putusan itu diucapkan oleh Ketua MK Arief Hidayat, Kamis (14/12) kemarin.
Orang-orang kantoran Jakarta bersuara. Mereka menyambut putusan MK itu dengan beraneka tanggapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Senang. Sebenernya juga bisa jadi salah satu motivasi," tanggap Joy Sihotang, karyawan usia 25 tahun yang berkantor di sekitar sini.
![]() |
Joy memang pernah punya pengalaman berpacaran dengan teman sekantor meski tak sampai melanjutkan ke jenjang perkawinan. Diapun juga tak keberatan bila ada dua karyawan sekantor yang berpacaran dan akhirnya menikah, dan itu pernah terjadi di kantornya. Perusahaan tempatnya bekerja memang tidak melarang pernikahan dua karyawannya.
"Asalkan bisa profesional saja, kalau ada masalah pribadi ya pribadi, masalah kerjaan ya kerjaan," kata dia.
Masalah konflik kepentingan memang dirasa rawan bila ada dua karyawan dalam satu perusahaan menikah. Tentu seseorang berisiko punya perlakuan berbeda bila menghadapi istri sendiri dan bukan istri sendiri.
Indrawan (30) menyambut baik putusan MK itu. Perkara cinta dua anak manusia tak perlu dilarang-larang. Soal potensi gangguan terhadap pekerjaan di kantor, itu bisa ditangani lewat sikap profesional masing-masing.
![]() |
Meski begitu, permasalahan dan dilema dalam menyikapinya tentu bisa berbeda bila pihak yang bermasalah punya hubungan asmara, lebih-lebih hubungan perkawinan.
"Kalau dia (pasangan menikah sekantor) bisa profesional sih boleh saja sebenarnya. Soalnya biasanya kalau ada masalah keluarga pasti dibawa sampai ke pekerjaan," kata Indrawan.
![]() |
Dwi Tanti (20), karyawati Bank DKI, juga memandang risiko yang sama. Memang masalah pacaran dan pernikahan adalah hak manusia, namun di sisi lain masalah pribadi suami istri atau pasangan asmara bisa masuk ke wilayah pekerjaan.
"Saya nggak ada niatan untuk pacaran satu kantor. Takut kebawa ke pekerjaan sih. Tapi kalau memang mendapat jodoh orang sekantor maka salah satu harus keluar," tutur Dwi Tanti.
Siti Maisarah (21), karyawati PT Tekindo Energi, tegas menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya pernikahan antar-karyawan satu perusahaan bisa menimbulkan kecemburuan dan rusaknya objektivitas.
"Ketika atasan nikahin bawahannya, terus kalau bawahannya salah tapi dibela oleh atasannya yang juga pasangannya itu, itu menurut gua (saya) nggak profesional. Dapat merugikan perusahaan. Kalau misalnya 20 orang yang menikah satu kantor, kemungkinan buat terjadi nggak profesionalnya lebih besar," tuturnya berpendapat.
![]() |
Keputusan MK sudah terlanjur diketuk. Siti berharap keputusan itu bisa bermanfaat, supaya para karyawan yang menikahi rekannya itu punya semangat lebih dalam bekerja.
"Pemilik perusahaan lebih baik melakukan kebijakan ataupun peraturan perusahaan terbaru untuk mencegah hal-hal yang merugikan perusahaan dengan adanya keputusan tersebut," tuturnya.
Hanna Aljaidi (21), Ayu (28), Nadia (22), dan Sherlyta (21) yang ditemui di Jl Jenderal Sudirman punya pandangan yang sama. Mereka cenderung tak mempermasalahkan keputusan itu. Mereka juga tak punya pasangan sekantor. Namun pemisahan divisi antara dua sejoli seperusahaan dilakukan kantor mereka masing-masing.
"Kalau satu kantor bisa saja. Tapi kalau satu divisi agak nggak setuju karena takut kebawa masalah ke kantor," kata Ayu.
Ada pula Yuli (21) yang mengapresiasi putusan MK meski dia pribadi tak mau punya pasangan sekantor. "Di kantor saya, kalau pacaran nggak melanggar sih, tapi kalau menikah itu nggak boleh," kata Yuli yang mengaku pernah punya pacar sesama pekerja sekantor ini.
![]() |
Karyawan Asahimas Chemical bernama Agus (30) mengaku setuju dengan putusan MK itu. Soalnya urusan cinta, asmara, dan jodoh adalah urusan pribadi. Teman-temannya juga sudah banyak yang menikahi rekan satu kantornya.
"(Kantor saya) Mengizinkan kok," ucapnya.
MK memandang Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi selepas putusan ini.
Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan berbunyi demikian:
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
MK menyatakan frasa 'kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama' dibatalkan dan tidak mengikat.
Gugatan ini diajukan 8 karyawan. Mereka adalah Jhoni Boetja, Edy Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad Yunus, dan Yekti Kurniasih.
Anda punya kisah asmara terkait putusan MK ini, sampaikan ke redaksi@detik.com, jangan lupa cantumkan nomor ponsel yang bisa dihubungi. (dnu/dkp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini