"Seharusnya hakim MK dengan kekuasaannya bisa memberikan tafsir progresif sekaligus menjawab gugatan ini demi tertib hukum dan tertib sosial," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh, kepada detikcom, Kamis (14/12/2017).
Dalam pemutusan persidangan, empat hakim konstitusi setuju lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta kumpul kebo masuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan lima hakim lainnya tidak. Akhirnya MK memutuskan menolak mengadili gugatan soal LGBT dan kumpul kebo itu. MK menyatakan perumusan delik LGBT dalam hukum pidana Indonesia masuk wewenang DPR-presiden.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan sudah diketok. Maka MUI menilai inilah saatnya lembaga pembuat undang-undang yang perlu bergerak. DPR harus menyusun undang-undang yang bisa memidanakan LGBT dan pelaku kumpul kebo.
"Karenanya memang DPR perlu segera melakukan langkah-langkah legislasi dalam melakukan perlindungan legislasi, demi tertib sosial dan tertib hukum. Demikian juga pada masalah kumpul kebo itu," kata Ni'am.
Ni'am menegaskan perilaku LGBT dan kumpul kebo tidak bisa diterima masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berketuhanan dan beragama. Soal adanya kelompok masyarakat Indonesia yang berkecenderungan LGBT, Ni'am memandang itu tak bisa menjadi faktor pembenar perilaku tersebut.
"Aktivitas seksual menyimpan seperti homoseksual dan lesbian itu tidak bisa diterima oleh norma masyarakat Indonesia," kata dia. (dnu/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini