Hal ini disampaikan Susi dalam diskusi yang digelar Pergerakan Indonesia Maju (PIM) di Sekretariat PIM, Jl Brawijaya VIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (13/12/2017). Diskusi ini mengusung tema 'Mengenang Djuanda, Menegakkan Kedaulatan Negara'.
Selain Susi, tokoh lain yang hadir dalam diskusi ini antara lain Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Tapal Batas Maritim Eddy Pratomo, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama Din Syamsuddin, perwakilan keluarga Ir Djuanda, Awaluddin Djamin, dan Ketua Lembaga Hukum Internasional UI Arie Afriansyah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita harus berani, Djuanda pada zaman dulu mempersembahkan batas ini kepada kita. Kalau kita tidak respect batas yang dibikin Djuanda, nanti respect-nya juga akan turun kepada kita," kata Susi.
"Mereka (kapal asing) akan start opening again, siapa tahu dia kutak-kutik nanti tahu kita rasa nasionalisme dan kedaulatannya kurang, tidak bisa tidak mau kita," tegas Susi.
Perjuangan Djuanda, menurut Susi, harus dijaga dengan mengamankan laut Indonesia. Susi menyebut sumber daya laut Nusantara 100 persen milik Indonesia.
"Saya pikir ini adalah perjuangan yang harus kita proteksi ke depan karena ini menjadi nature resource yang satu-satunya, laut kini menjadi satu-satunya sumber daya alam yang 100 persen untuk Indonesia saja," imbuhnya.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No 44 tentang menjaga kelestarian ikan dan laut Indonesia. Namun Susi mengatakan banyak pihak yang ingin merevisi PP tersebut.
"Sekarang ada yang lobi terus untuk mengubah PP, saya harap we protect PP to never, ever revisi karena itu (ikan laut) satu-satunya sumber protein kita yang kita bisa dapat," ucapnya.
Sementara itu, Pratomo menyebut dampak dari deklarasi Ir Djuanda adalah nilai kedaulatan itu sendiri. Tantangannya adalah mampu atau tidak generasi penerus mempertahankan kedaulatan itu.
"Dampak dari Deklarasi Djuanda adalah nilai kedaulatan, dan seterusnya adalah bertambah isu kedaulatan itu sendiri. Djuanda telah menciptakan, mempertahankan, perjuangkan sejak sidang PBB," tutur Pratomo.
"Sekarang kita sebagai generasi penerus, mampukah mempertahankan kedaulatan itu atau justru kita menjual kedaulatan yang telah diperjuangkan Ir Djuanda ini, baik dari sisi pertahanan-keamanan, politik, dan ekonomi," sambungnya.
Sependapat dengan pernyataan Pratomo, Ketua Lembaga Hukum Internasional UI Arie Afriansyah mengatakan generasi penerus harus diberi perhatian khusus agar terbuka terhadap masalah-masalah maritim di Indonesia.
"Saya khawatir justru pada generasi penerus kita, ini penting bagaimana kita memberikan awareness yang baru bagaimana perspektif laut ini menjadi isu utama masyarakat indonesia," paparnya.
Arie juga sangat mengapresiasi Ir Djuanda karena dahulu laut Indonesia bebas. Namun, sesaat setelah Deklarasi Djuanda, laut-laut Indonesia dibatasi sehingga jelas batas-batas perairan Indonesia itu seperti apa.
"Sebelumnya Indonesia kan lautnya terpisah-pisah. Jadi di mana-mana laut bebas, laut Jawa laut bebas, Kalimantan, Sulawesi laut bebas, sekarang sudah ditutup sama Pak Djuanda itu, sehingga Natuna pun bisa ditutup dan Natuna malah menjadi batas akhir bagi perlindungan batas laut dengan negara lain," jelasnya. (nvl/jbr)











































