"Pelakunya (kekerasan seksual) itu mayoritas adalah relasi horizontal. Relasi horizintal itu masuknya bisa teman, pelakunya 50 persen itu adalah tetangga korban, sisanya dilakukan oleh orang tua tiri, saudara tiri dan orang lain," ucap Dio dalam diskusi 'Disabilitas dan Kekerasan Seksual dalam Akses Keadilan' di Warung Tjikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/12/2017).
Hasil itu didapat Dio dari riset yang dilakukan terhadap 22 putusan hakim dari tahun 2011 sampai tahun 2015 terkait kasus kekerasan seksual pada difabel. Putusan tersebut dilansir Dio dari situs resmi Mahkamah Agung (MA).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam diskusi itu, hadir pula Purwanti dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel, Iit Rahmati yang merupakan advokat dari LBH Apik, Nirwana selaku Ketua Pengadilan Negeri Tangerang, dan peneliti PSHK Fajri Nusyamsi.
Dio menyebut seluruh korban kekerasan seksual dari 22 kasus yang ditelitinya merupakan perempuan dengan usia di bawah 18 tahun. Menurut Dio, kasus itu terjadi karena rendahnya akses pengetahuan mengenai difabel di level sosial maupun level keluarga.
"Hal itu menjadikan perempuan menjadi subjek yang tidak berdaya. Di sisi lain, kurangnya keberpihakan masyarakat karena pemahaman keliru yang justru menjadikan perempuan difabel tidak dilindungi," ucap Dio.
Selain itu, Dio menyoroti terkait proses persidangan terkait kasus tersebut. Menurutnya, ada 82 persen dari persidangan tidak menghadirkan ahli.
"Padahal ahli ini penting untuk melakukan assessment karena kan kebutuhan difabel ini kan beda-beda. Kalau dia nggak di-assessment kan pengadilan nggak tahu apa kebutuhannya (penyandang disabilitas)," kata Dio.
Kemudian, Dio juga menyebut mayoritas korban hanya didampingi kerabat ketika sidang, padahal menurutnya pendampingan tersebut penting. "Korban yang memiliki pendamping mayoritas didampingi oleh kerabatnya. Sedangkan vonis rata-rata tertinggi hanya 4 hingga 11 tahun, " kata Dio. (dhn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini