Sejatinya putusan itu akan dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Ferry Agustina, hakim anggota Agus Widodo dan Sudjarwanto. Sidang diagendakan kembali digelar pada tanggal 4 Desember. Atas tertundanya sidang putusan tersebut beberapa penyandang disabilitas yang hadir mengaku kecewa.
"Hakim menyatakan sidang ditunda dua minggu lagi tanggal 4 Desember. Dari pihak kami menyatakan waktunya sudah panjang dari sidang terakhir sampai sekarang lama," kata pengacara korban, Heppy Sebayang, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (20/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam tuntutannya, Heppy meminta hakim mengabulkan gugatannya yakni memberikan sanksi kepada pihak maskapai Etihad karena telah melakukan perbuatan diskriminatif bagi penumpang disabilitas. Serta meminta Menteri Perhubungan untuk melakukan evaluasi dan meninjau ulang perizinan dan aturan teknis penerbangan internasional lain agar teknis penerbangannya sesuai dengan aturan penerbangan di Indonesia.
Ia juga memohon majelis hakim agar mengabulkan gugatannya supaya para pihak membayar ganti rugi materil dan immateril. Serta meminta kepada maskapai Etihad tidak mengulangi perbuatannya kepada penyandang disabitas.
"Saya minta agar para pihak ini juga memberikan ganti rugi rugi baik materil dan immateril sebagai kompensasi dari kerugian yang telah dialami oleh korban. Kita juga ingin agar ada perubahan ke depan tidak ada lagi korban-korban," kata Heppy.
Heppy juga meminta agar pihak tergugat meminta maaf kepada korban di media massa untuk memulihkan nama penggugat. Sebab menurutnya baru manajemen maskapai Etihad pusat yang meminta maaf kepada Dwi melalui email, sementara manajemen Indonesia belum meminta maaf secara langsung.
Awalnya pada 8 Maret 2016 Dwi Ariyani mendapat undangan International Disability Alliance untuk menghadiri Pelatihan tentang pendalaman implementasi dan pemantauan Konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas. Acara tersebut diagendakan berlangsung sejak 4-11 April tahun 2016 di kantor PBB Swiss.
Akan tetapi rencana mengikuti konferensi itu gugur karena Dwi Ariyani tidak bisa menaiki pesawat Etihad ke Swiss pada 3 April 2016. Dia diminta turun oleh pihak maskapai saat telah berada di atas pesawat.
Menurutnya jika Dwi Ariyani pihaknya dilarang masuk ke pesawat seharusnya terjadi sejak dia akan melakukan boarding. Padahal barang-barang Dwi telah dimasukkan dalam bagasi pesawat. Dengan demikian menurutnya jika melarang seseorang semestinya bukan pada saat kliennya telah duduk di kursi penumpang.
Salah satu alasan lainnya Etihad tidak mengizinkan Dwi Ariyani izin terbang karena dia dianggap sakit. Padahal Dwi menyebut telah memiliki izin dari dokter yang mengatakan kondisi dirinya sehat.
Selain itu pihak maskapai juga meminta Dwi mendapatkan pendampingan oleh seseorang di dalam pesawat agar mudah mengevakuasinya saat dalam keadaan darurat. Menurutnya alasan tersebut tidak masuk akal karena pihak Dwi sering melakukan kegiatannya sehari-hari dengan sendiri.
![]() |
"Beliau ini dalam kondisi kalau ikut dianggap membahayakan keselamatan penerbangan. Dimana letak resiko nya, dia diwajibkan didampingi untuk membawa 1 orang lagi tiket untuk pendamping. Dwi Ariyani dianggap oleh crew Etihad tidak mampu melakukan evakuasi diri bilamana pesawat dalam keadaan darurat menjadi salah satu alasan penolakan menerbangkannya," kata Heppy.
Ia mengaku kecewa dengan Kemenhub karena tidak memberikan sanksi kepada pihak maskapai yang diduga melakukan diskriminasi. Padahal menurutnya penyandang disabilitas harus mendapatkan perlakuan yang sama. (yld/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini