"Pada tanggal 16 September pemohon ditangkap oleh termohon dengan dalih bahwa terjadi operasi tangkap tangan dan pemohon sangat terkejut terhadap penangkapan yang tiba-tiba dilakukan oleh termohon terhadap diri pemohon tanpa ada barang bukti yang melekat yang telah atau barusan terima pemohon dari pihak yang diduga melakukan tindak pidana a quo," kata anggota tim kuasa hukum Eddy, Agus Dwiwarsono dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (13/11/2017).
Saat penangkapan terjadi, Eddy dengan tegas membantah menerima uang karena tidak adanya bukti. Sebab saat ditangkap Eddy sedang berada di kamar mandi dan tidak ada siapa pun selain dirinya di dalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Agus, penangkapan terhadap Eddy dengan dalih OTT dianggap bertentangan dengan prosedur. Ia mengatakan istilah OTT tidak terdapat di dalam KUHAP karena di dalam pasal 1 butir 19 dan pasal 18 ayat 2 KUHAP hanya menyebutkan tertangkap tangan.
Menurut Agus, penangkapan yang tidak adanya bukti yang jelas adalah tidak sah. Karena melanggar prinsip due process of law atau kepastian hukum yang diatur pasal 1 ayat 3 UUD 1945.
Dia meminta KPK menunjukkan video saat OTT dilakukan di rumah Eddy dan pada saat KPK menyadap handphone kliennya. Padahal menurutnya pemohon tidak bersedia bertemu dengan pihak yang diduga memberi yakni Philipus.
Agus mengatakan dalam kasus tertangkap tangan tanpa surat perintah, berdasarkan pasal 18 ayat 2 KUHAP, penangkap (KPK) harus segera memberikan barang bukti kepada tersangka. Akan tetapi barang bukti baru diketahui pada 17 September sesuai berita acara penyitaan terkait Toyota Alphard atas nama Duta Perkasa Unggul.
Menurutnya, seharusnya barang bukti berupa mobil itu ditunjukan pada tanggal 16 September. Diduga duit yang diterima digunakan untuk melunasi mobil tersebut.
"Penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap dengan barang bukti, padahal barang bukti baru dilakukan penyitaan oleh termohon pada 17 September sesuai berita acara penyitaan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Agus, Eddy telah menjual saham PT Duta Perkasa Unggul Lestari dan bukan lagi menjabat sebagai Direksi atau Komisaris. Hal itu dibuktikan atas akta jual beli saham nomor 54 dan 39 tertanggal 25 November 2012.
Menurutnya proses penangkapan Eddy merupakan tindakan kesewenang-wenangan. Sebab KPK dianggap menganggap pasal 1 angka 19 dan angka 20, pasal 17, pasal 18 angka 1 angka 2 dan angka 3, serta pasal 19 angka 1 UU nomor 8 tahun 1981 KUHAP.
"Oleh karena itu secara hukum tindakan penangkapan oleh petugas dari termohon yang dilakukan terjadap pemohon tidak dapat dibenarkan karena telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), yaitu membawa orang secara paksa tanpa surat perintah penangkapan dan barang bukti," ujarnya.
Menurutnya proses penangkapan yang dilakukan tidak sah serta melanggar ketentuan dalam KUHAP dan UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Tim pengacara meminta hakim praperadilan membebaskan Eddy dari tahanan.
"Mohon agar PN Jaksel yang memeriksa dan memutus perkara berkenan menyatakan penangkapan yang dilakukan termohon terhadap diri pemohon tidak sah, (menyatakan) memerintahkan termohon agar melepaskan pemohon dari tahanan dan sprindik tidak sah dan tidak berlandaskan hukum," sambung Agus.
(yld/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini