Putusan yang diketok Selasa (7/11/2017) ini dikabulkan karena 9 hakim konstitusi sepakat, karena para penghayat kepercayaan mengalami diskriminasi. Mereka mengabulkan gugatan ini supaya para penghayat tidak mengalami diskriminasi.
"Pada saat yang sama, hal demikian merupakan sebuah kerugian hak konstitusional warga negara yang seharusnya tidak boleh terjadi. Peristiwa yang dialami oleh Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV di mana mereka mengalami hambatan dalam mengakses layanan publik, bahkan hingga kesulitan mendapatkan pekerjaan," ujar anggota majelis sidang, Manahan Sitompul, dalam pertimbangannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan demikian dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan beralasan menurut hukum," tuturnya.
Selain itu, 9 hakim juga sepakat soal teknis penulisan di KTP tidak perlu diperinci. Sebagai contoh, bila ada warga menganut kepercayaan 'A' namun di KTP tak perlu ditulis 'A', melainkan cukup ditulis 'Penghayat Kepercayaan'.
"Maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai 'Penghayat Kepercayaan' tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK maupun KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain," ujar Ketua MK Arief Hidayat.
Kesembilan hakim konstitusi itu adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan Sitompul, Wahidudin Adams, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indarti, Saldi Isra, Suhartoyo dan Aswanto. (rvk/asp)











































