Anggaran Pilkada 2018 saat ini telah dicanangkan sebesar Rp 15,157 triliun untuk 171 daerah. Komisioner KPU Divisi Perencanaan Keuangan dan Logistik Pramono Ubaid Tanthowi berpendapat selama Pilkada serentak hanya dilaksanakan untuk menyerentakkan pemilihan dalam waktu berdekatan, maka pendanaan Pilkada akan selalu tinggi.
"Selagi (Pilkada serentak) masih hanya menyerentakkan waktu yang berdekatan, ya tidak akan ada efisiensi. Padahal kan yang besar biaya honorarium, sosialisasi, distribusi, dan kampanye," ujar Ubaid dalam diskusi yang diadakan oleh Kemendagri di Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (7/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ubaid menyebut, mahalnya pembiayaan ini dikarenakan ada skenario pemilihan yang harus KPU rancang. Selain itu juga karena ada beban biaya kampanye pasangan calon yang dilimpahkan pada KPU.
"KPU harus menyusun anggaran dengan asumsi 5-6 paslon. Walaupun kadang yang ikut hanya 2-3 paslon. Lalu sebagian biaya kampanye paslon ditanggung KPU. Seperti alat peraga, bahan kampanye, debat kandidat, dan iklan," tuturnya.
Dia juga mengklarifikasi soal tudingan yang menyebut KPU tidak berusaha mengefisienkan anggaran. KPU disebut kerap menghabiskan sisa anggaran untuk hal-hal yang kurang pas.
Ubaid membantahnya dan menyatakan apabila rancangan skenario pemilihan KPU ternyata menyisakan dana anggaran berlebih, sisa itu pasti dikembalikan. Misal seperti skenario 5-6 paslon, ternyata yang mengikuti Pilkada hanya 2 paslon, dipastikan dana yang tidak terpakai dikembalikan ke pemerintah daerah.
"Kita selalu bikin asumsi 5-6 paslon. Kalau yang ikut hanya 2 paslon, kita kembalikan kok," tegas Ubaid.
Dalam diskusi publik tersebut, Staf Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Shadiq Pasadiqoe memang menyoroti soal anggaran sisa KPU. Dia mengatakan selama ini anggaran yang tak terpakai sering dihabiskan percuma. Menurutnya, KPU belum diawasi secara maksimal dari segi penyelenggaraan dan keuangannya.
"KPU itu misal uang Rp 10 milyar itu gimana caranya dihabiskan, bukan gimana caranya diefisienkan, dihemat. Karena di negara ini, keberhasilan sebuah program itu dilihat dari terserapnya dana. Bukan dari hasil," ucap Shadiq dalam kesempatan yang sama.
Untuk menjernihkan persoalan pendanaan ini, Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar sangat setuju apabila penyelenggaraan Pilkada disokong penuh oleh APBN. Bukan dengan APBD seperti yang saat ini berlaku lewat UU No 10 Tahun 2016.
"Melihat temuan-temuan tadi, kedepannya Pilkada harus dengan APBN. Obatnya hanya dengan APBN. Lebih mudah dikontrol. KPU juga nggak perlu mengemis sama DPRD setempat untuk anggaran," tutur Bahtiar.
Bahtiar juga menambahkan, penggunaan APBD untuk pembiayaan Pilkada juga rentan dipolitisasi. KPU dinilainya bisa kehilangan independesinya karena harus melobi DPRD demi anggaran Pilkada.
"Kalau dari APBD itu rentan terjadi politisasi dan korupsi terhadap dana Pilkada," sebutnya. (elz/elz)