Jelang Vonis MK, Ketua DPRD Banten: Sunda Wiwitan, Agama atau Bukan?

Jelang Vonis MK, Ketua DPRD Banten: Sunda Wiwitan, Agama atau Bukan?

M Iqbal - detikNews
Senin, 06 Nov 2017 13:03 WIB
Ketua DPRD Banten Asep Rahmatullah (iqbal/detikcom)
Serang - Keputusan nasib Penghayat Kepercayaan dapat dicantumkan di kolom agama akan diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) esok hari. Ketua DPRD Banten Asep Rahmatullah mempertanyakan Sunda Wiwitan agama atau bukan.

Sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat Baduy di Banten hingga saat ini belum tercantum pada kolom agama di KTP. Masyarakat Baduy berharap agar kepercayaannya dapat tercantum di kolom agama KTP.

Asep mengatakan, perihal kepercayaan yang dianut masyarakat Baduy, ia perlu penguatan apakah Sunda Wiwitan termasuk agama atau bukan. Menurutnya, kolom di KTP hanya menyebut agama bukan kepercayaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau mengenai kepercayaan ini kan saya perlu penguatan dari sisi Sunda Wiwitan gitu, kan. Sunda Wiwitan itu masuknya agama atau bukan? Kan kolomnya juga agama?," kata Asep kepada wartawan sesuai menghadiri acara peresmian kampus II Universitas Banten Jaya, Kota Serang, Senin (6/11/2017).


"Artinya gini loh, persoalan keyakinan itu kan sebetulnya persoalan pribadi masing-masing. Artinya ketika Menteri Kementerian Dalam Negeri, dalam artian menempatkan posisi bahwa agama yang diakui di Indonesia ini kan muslim dan yang lainnya, ya kan," sambungnya.

Ia menuturkan, persoalan keberadaan masyarakat Baduy sudah diakui meski kepercayaan mereka tidak tercantum dalam kolom agama. Menurutnya, kepercayaan atau keyakinan persoalan amalan masing-masing.

"Saya rasa MK akan lebih melihat fungsi daripada kolom itu. Yang artinya kan persoalan keberadaan masyarakat Baduy itu kan sudah diakui, persoalan keyakinan-kepercayaan, itu kan persoalan amalun amalukum. Jadi kalau misalkan di situ kolomnya kolom agama dan kepercayaan misalnya, mungkin bisa dicantumkan," kata dia.

Jika gugatan para Penghayan Kepercayaan di Indonesia dikabulkan, pengosongan kolom agama bisa digunakan bagi Penghayat Kepercayaan. Ia mencontohkan, saat pembuatan KTP seseorang ditanya apa agama yang dianut, jika masyarakat menghendaki kolom agama dikosongkan, berarti dia adalah penghayat kepercayaan.

"Ya, kalau misalnya dikosongkan, kan dia bisa saja dia berarti kepercayaan. Kita tidak punya agama tapi kepercayaan, bisa saja seperti itu. Misalnya saya nih, ketika ditanya agama apa, ya dikosongkan saja, kepercayaan kan berarti dikosong kan sama pemerintahnya," ujarnya.

"Berarti yang kosong itu sudah otomatis adalah kepercayaan, kan gitu aja. Simpelnya gitu saja sih menurut saya," imbuhnya.

Asep berharap, MK dapat memberikan hak setiap warga negara Republik Indonesia. Dia melihat bahwa persoalan agama adalah persoalan keyakinan yang dianut seseorang. Maka, jika Penghayat Kepercayaan masuk kolom agama di KTP dikabulkan MK, Penghayat Kepercayaan tidak terdiskriminasi.

"Harapan saya sih segala sesuatunya kan seluruh warga negara Republik Indonesia diberikan haknya. Tapi persoalannya juga kita melihat bahwa persoalan agama itu kan keyakinan. Nah, persoalan kepercayaan dan segala macam ketika cantuman itu agama misalnya tinggal dipilih saja. Kalau itu tidak mencantumkan Islam, Katolik atau apapun berarti dia berstatus kepercayaan," kata dia.

Seperti diberikatan detikcom sebelumnya, pada Selasa 7 November MK akan membacakan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016. Gugatan itu diajukan oleh Naggay Mehang Tana, Pagar Demanra, Arnil Purba dan kawan-kawan.

Mereka menggugat UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013. Pasal yang digugat adalah Pasal 61 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan ayat 5. (asp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads