Para pemuda asal Kota Solo, Augustinus Adhitya (29), Onny Sumantri (26), dan Alfonsus Aditya (33), melihat adanya pergeseran model wisata tersebut. Wisatawan kini tak hanya cukup menyaksikan, tapi juga harus terjun langsung merasakan pengalaman baru.
Melalui platform Triponyu, tiga pemuda itu menawarkan wisata baru. Sejak setahun lalu, mereka berfokus merintisnya di Solo, meskipun beberapa paket wisata di kota lain sudah dapat dinikmati lewat Triponyu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mencontohkan, Kelurahan Baluwarti tidak hanya sebagai kawasan cagar budaya Keraton Kasunanan Surakarta. Selain bangunan-bangunan yang kuno, kehidupan masyarakat Baluwarti pun memiliki keunikan.
Wisatawan dapat memperoleh cerita tentang Baluwarti langsung dari warga lokal. Mereka juga dapat melakukan aktivitas yang dilakukan warga, seperti memasak.
"Lalu ada Kelurahan Sudiroprajan, bagaimana dua etnis (Cina dan Jawa) bisa hidup berdampingan. Dari sisi arsitektur juga menarik. Belum lagi kalau masuk ke Pasar Gede, lihat arsitekturnya. Lalu masuk ke dalam mencicipi makanannya," ujarnya.
Menurutnya, konsep tersebut memberi nilai tambah bagi paket wisata yang dijual di Triponyu. Persoalan harga yang lebih pun menjadi wajar ketika wisatawan memperoleh pengalaman yang baru.
"Misalnya di Mangkunegaran, saya punya konsep, yang menceritakan sejarah itu langsung anak dari Mangkunegara (Raja Mangkunegaran) atau yang masih keluarga, feel-nya akan lebih dapat. Kalau tiket masuk biasa itu Rp 10 ribu, misal kita jual Rp 150 ribu, tidak akan merasa rugi," ujarnya.
![]() |
"Atau mungkin di hari tertentu, ada sesi ngobrol dengan Mangkunegara dalam kondisi santai. Bisa saja pengalaman pertama datang, ngobrol di ruang tengah. Yang kedua mungkin pas mood lagi bagus, diajak ke kebun atau tempat khusus. Itu Rp 150 ribu nothing, lo," ungkapnya.
Dari 51 kelurahan di Kota Solo, saat ini baru enam kelurahan yang sudah bergabung dengan Triponyu. Mereka menggandeng Dinas Pariwisata dan memperkenalkan Triponyu kepada Kelompok Sadar Wisata.
Alfonsus Aditya, yang turut berkeliling memperkenalkan Triponyu, mengatakan tidak mudah menggandeng masyarakat untuk beralih ke wisata kekinian tersebut. Banyak kendala yang ia hadapi, terutama soal perbedaan cara berpikir.
"Di salah satu kelurahan, mereka masih berpikir bagaimana mendatangkan seribu turis tanpa memikirkan dampak. Pasti bangunan jadi rusak, masyarakat kampung terganggu, belum lagi masalah kebersihan. Yang menarik itu jika bisa mendatangkan 10 orang tapi rutin," tuturnya. (asp/asp)