"Menyatakan terdakwa Dwi Widodo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut," ujar Ketua Majelis Hakim, Diah Siti Basaria, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Jumat (27/10/2017).
Majelis hakim menyatakan Dwi selaku atase KBRI Kuala Lumpur terbukti menerima uang imbalan dari delapan perusahaan sponsor dan voucher hotel terkait penerbitan calling visa dan brafak. Fee tersebut diberikan kepada terdakwa karena telah membantu mengurus visa tanpa pengecekan kelengkapan administrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Benar saudara Dwi Widodo telah menerima sebesar Rp 524,35 juta dan hadiah voucher hotel senilai Rp 10,8 juta dari PT Anas Piliang Jaya, PT Semangat Jaya Baru, PT Trisula Mitra Sejahtera, PT Sandugu International, PT Rasulindo, PT Atrinco Mulia Sejati, PT Afindo Prima Utama, dan PT Alif Asia Africa untuk menerbitkan calling visa atau brafak dikirim ke rekening BRI atas nama Dwi Widodo atau ke rekening bank Satria Dwi Ananda putra terdakwa," kata majelis hakim.
"Terdakwa juga menerima senilai total RM 63.500 terkait pembuatan paspor bagi para TKI, dengan metode reach out di Port Dickson dan Putaran Baru dari Satya Rajasa Pane," sambung majelis hakim.
Majelis hakim menyatakan hal-hal yang memberatkan terdakwa ialah tidak mendukung program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah, dan menurunkan citra Indonesia di luar negeri.
"Kemudian yang meringankan terdakwa menyesali perbuatannya, berlaku sopan selama persidangan dan punya tanggung jawab terhadap keluarganya," kata anggota majelis hakim.
Majelis hakim menyatakan Dwi tidak perlu membayar uang pengganti ke negara.
"Diperoleh fakta hukum bahwa benar atas perbuatan terdakwa tidak menimbulkan kerugian keuangan negara. Maka terdakwa tidak perlu membayar uang tersebut, maka dari itu haruslah ditolak," katanya.
Atas putusan hakim ini, Dwi Widodo menyatakan pikir-pikir.
"Yang mulia kami putuskan untuk pikir-pikir," kata Dwi.
Berikut rincian uang yang diterima Dwi dari perusahaan sponsor yaitu:
1. PT Anas Poliang Jaya milik Nazwir Anas yang bergerak di bidang penjualan pakaian dan furnitur dan berganti nama menjadi PT Semangat Jaya Baru. Pelanggan perusahaan itu banyak dari Nigeria, Guinea, Mali dan Sierra Leone. Selama 2014-2016 Nazwir telah mengajukan permohonan calling visa sebanyak 143 pemohon dan Dwi Widodo menerima total uang Rp 73,5 juta dari jasanya.
2. PT Trisula Mitra Sejahtera dengan direktur Lenggara Latjuba yang bergerak di bidang jasa konsultasi manajemen bisnis. Terdakwa meminta fee sebesar 100-200 dolar AS untuk setiap calling visa untuk 16 orang warga negara Kamerun, Nigeria dan Somalia yang berprofesi sebagai pedagang dan mendapatkan imbalan Rp 27,8 juta.
3. Mahamadou Drammeh selaku Presidr PT Sandugu International. Dwi menerbitkan calling visa dari warga negara Nigeria, Liberia dan Kamerun bersedia membantu dengan meminta imbalan sebesar Rp 1 juta per orang, dan mendapatkan total imbalan sebesar Rp 245,3 juta.
4. Direktur PT Rasulindo Jaya Ali Husain Tajibally. Dwi Widodo mengurus calling visa pada 2013-2014 untuk 42 pemohon, pada 2015 untuk 65 pemohon dan 2016 untuk 40 pemohon. Atas jasanya, Ali melalui istrinya Nurlaila memberikan imbalan fasilitas voucher hotel kepada Dwi total senilai Rp 10,807 juta.
5. Abdul Fatah adalah Direktur PT Atrinco Mulia Sejati yang menjadi penjamin pengurusan calling visa untuk warga negara Nigeria, Pakistan, Ghana, Uganda, Afganistan, Sierra Leone, dan Kamerun yang berprofesi sebagai pedagang. Dwi mengurus permohonan brafak dan calling visa sebanyak 706 pemohon dan mendapat imbalan senilai total Rp 7,5 juta.
6. Temi Lukman Winata yaitu Direktur PT Afindo Prima Utama, Dwi Widodo mendapat imbalan Rp 2,5 juta setiap calling visa untuk 8 warga negara Srilangka, Nepal, Uganda, Nigeria, dan Ghana yang berprofesi sebagai pedagang. Atas jasanya Dwi Widodo mendapat imbalan senilai Rp 8,4 juta.
7. Anwar selaku direktur PT Alif Asia Afrika. Dwi meminta imbalan sebesar Rp 1-2 juta untuk setiap visa sehingga terdakwa mengurus 130 permohonan dan total fee sebesar Rp 145,45 juta.
8. Penerbitan paspor dengan metode 'reach out' bersama mantan pegawai KBRI Kuala Lumpur Satya Rajasa Pane senilai total RM 63.500.
Dwi terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (ams/aan)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini