Menurut Fraksi Gerindra, ketidakberpihakan APBN 2018 kepada rakyat terlihat dari tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak, tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru, Program Keluarga Harapan yang tidak didukung melalui kebijakan anggaran, serta pelaksanaan Asian Paragames untuk para penyandang disabilitas yang akan dilaksanakan di Jakarta pada Oktober 2018 tidak sepenuhnya di-cover pemerintah.
"Itu adalah beberapa di antara banyak catatan lain yang membuat postur APBN 2018 terlihat tidak pro terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial," kata Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dalam siaran pers dari Gerindra, Kamis (26/10/2017).
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. (Situs DPR RI) |
Sara, sapaan akrab Rahayu, menjelaskan tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak itu terlihat dari pemangkasan anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) oleh Kementerian Keuangan dan Bappenas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, anggota Komisi VIII DPR ini juga menjelaskan ketidakberpihakan APBN 2018 terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial terlihat dari tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru. Padahal Kemendikbud menyatakan ada 295 ribu guru yang akan pensiun dalam 5 tahun ke depan.
"MenPAN-RB menjelaskan bahwa alasan mengapa belum bisa menghilangkan moratorium pengangkatan PNS karena Kementerian Keuangan belum menyiapkan skema penganggaran pengangkatan guru baru. Padahal kita semua menganggap negara ini kekurangan guru, sedangkan ada ratusan ribu guru honorer yang selama ini menunggu pengangkatan dan terkadang hanya menerima gaji Rp 50 ribu/bulan," ujarnya.
Lebih jauh, Sara juga mempertanyakan kepemimpinan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sudah sudah masuk tahun ke-4, terhadap keseriusannya dalam menciptakan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan sosial untuk rakyat Indonesia.
"Jelas dengan contoh tersebut (tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru) bahwa pemikiran untuk peningkatan sumber daya manusia di Indonesia masih belum menjadi prioritas, apalagi kalau kita memikirkan rasio antara guru dan murid. Bagaimana nasib anak-anak kita jika tidak dapat menerima pendidikan yang layak?" paparnya.
Selain itu, lanjut Sara, salah satu program pemerintah yang cukup baik, bahkan didukung oleh seluruh fraksi yang ada di DPR, yaitu Program Keluarga Harapan, yang ada di bawah Kemensos, justru tidak diberi dukungan besar oleh negara melalui Kemenkeu dan Bappenas.
"Seharusnya jika memang ingin mengentaskan kemiskinan, saran kami, anggaran belanja non-K/L sebesar Rp 629,2 triliun di mana komponen terbesar adalah untuk infrastruktur bisa dialihkan, di antaranya untuk meningkatkan keluarga penerima manfaat PKH dari 10 juta menjadi 20 juta, dan untuk infrastruktur bisa difokuskan pada peningkatan dana desa yang memang sebenarnya mengena secara langsung pada rakyat kecil dari Rp 60 triliun menjadi Rp 90 triliun," pungkas Sara. (tor/fjp)












































Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. (Situs DPR RI)