Anggota Komisi II Fraksi PKB Yakub Kholil Khaumas menyatakan ada beberapa pasal dalam perppu yang sebaiknya direvisi. Ia juga mengatakan ada pasal yang berpotensi menjadi pasal karet.
"Ada dua klausul, pertama, soal pembubaran ormas dalam pengadilan yang dihapus dalam perppu. Klausul penodaan agama, dalam pasal tersebut ormas dilarang menodakan agama, pasal itu berpotensi jadi pasal karet. Pemberatan pidana seharusnya tidak diperlukan karena sudah ada di KUHP," jelas Yakub.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PKB menyarankan dilakukan revisi terhadap (Perppu yang akan jadi UU) ormas. Utamanya berhubungan dengan berserikat dan berkumpul. Berdasarkan latar belakang ini, Fraksi PKB menyatakan bahwa setuju membawa Perppu Ormas ke dalam rapat paripurna untuk disahkan jadi UU," lanjutnya.
Senada dengan PKB, PPP meminta pasal soal pengadilan direvisi kembali. Anggota Komisi II Fraksi PPP Firmansyah Mardanoes menyampaikan, setelah perppu tersebut disahkan menjadi UU, perlu segera diperbaiki dan dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2018.
"Kami ingin tegaskan diterima dengan catatan pertama agar pemerintah atau DPR menggunakan hak legislasinya dalam waktu sesegera mungkin untuk diperbaiki dan dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2018," kata Frimansyah.
Fraksi Demokrat, yang diwakili oleh Afzal Mahfuz, menyatakan menyetujui Perppu Ormas disahkan menjadi undang-undang. Namun mesti dilakukan revisi terbatas.
"Demokrat dapat menyetujui rancangan UU Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas untuk dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat II di rapur (rapat paripurna) dan jika pemerintah tidak bersedia dan tidak berkenan melalui revisi terbatas terhadap rancangan UU Perppu Nomor 2/ 2017 dengan perubahan UU Nomor 17/2013 tentang Ormas, maka dengan berat hati juga Demokrat DPR RI menolak perppu dimaksud disetujui dan disahkan," ungkap Afzal.
Anggota Komisi II Fraksi Demokrat lainnya, Fandi Utomo, mengungkapkan dua hal yang perlu direvisi. Yaitu soal peradilan dan berkaitan dengan pidana agar disesuaikan dengan KUHP.
"Perbaikan itu dua saja, kira-kira berkaitan persoalan peradilan itu, dikembalikannya proses di peradilan. Kalau ini diterima, perbaikan itu kira-kira banyak yang diselesaikan, check and balances, ketakutan soal demokratisasi, interpretasi tunggal soal Pancasila oleh pemerintah, due process of law, itu berkaitan dengan hilangnya proses di peradilan. Kedua, berkaitan dengan pidana supaya disesuaikan dengan KUHP," ucap Fandi. (lkw/elz)











































