"Korupsi di Indonesia sudah menjadi kebiasaan. Dan bahkan sudah menjadi 'hukum adat' yang jika tidak diikuti akan mendapatkan sanksi berupa tidak dilayani, dilambatkan, ditelantarkan, dikalahkan dan seterusnya," ujar Suparman saat berbincang dengan detikcom Jumat (20/10/2017) pagi.
Suparman mengungkapkan bahwa hakim masih terlibat korupsi karena adanya semacam kultur sendiri di dunia peradilan. Kultur yang dimaksud adalah kultur suap yang juga kerap dipandang sebagai 'hukum adat'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Suparman, pembenahan jangka panjang menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan polemik ini. Ia pun menilai diperlukan adanya perubahan sistem kekuasaan hakim.
"Itu pembenahan jangka panjang dengan membangun sistem kekuasaan hakim yang baru. Mulailah dengan merubah semua perundang-undangan agar ada harmonisasi dan sinkronisasi dalam rekrutmen, promosi mutasi, reward, punishment, status hakim, pengawasan, perubahan tata kelola administrasi peradilan," kata dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Dengan perubahan serta pembenahan itu, Suparman menilai sistem tersebut dapat menjadi alat pencegah. Setelah pencegahan korupsi berhasil dilakukan, maka akan timbul kebiasaan baru di pengadilan.
"Sehingga sistem yang terkontrol mencegah orang-orang dengan perangai buruk berbuat kerusakan. Dari sanalah akan terbangun kebiasaan baru," pungkas Suparman.
![]() |
Korupsi yang dilakukan aparat pengadilan jamak terjadi. Awal bulan lalu, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado Sudiwardono tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK karena menerima suap dari anggota DPR Aditya Moha. Sudiwardono menambah daftar panjang hakim yang terjerat kasus korupsi. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini