"Ada satu hal yang baru yang diajukan di praperadilan ini, yaitu terkait dengan proses praperadilan koneksitas. Itu yang diargumentasikan di sini," ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (18/10/2017).
Dalam hal ini, penggugat mempermasalahkan penanganan perkaranya oleh lembaga tunggal, yakni KPK. Sementara itu, menurut pemohon, seharusnya yang ditempuh adalah peradilan koneksitas. Yaitu peradilan menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan orang sipil bersama orang militer, seperti diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHAP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun KPK mantap menghadapi proses praperadilan yang akan dimulai Jumat (20/10) dengan lebih dulu menyusun strategi, di antaranya mempersiapkan bukti-bukti dan kapan bukti tersebut akan dihadirkan di persidangan.
Dalam kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan POM TNI. Ada lima tersangka yang ditetapkan POM TNI, tiga orang di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.
Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Sementara itu, KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka pertama dari swasta pada Jumat (16/6). Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, perusahaan joint venture Westland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar.
Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. (nif/jor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini