"Jadi ginilah ya, jangan kita terlalu cepat sensi juga. Ada dua kritik, kritik kepada yang berpidato dan kritik kepada yang mendengar pidato. Kritik kepada yang berpidato itu jangan terlalu romantis, menjadi Gubernur DKI itu adalah sebenarnya menjadi wali kota, karena DKI itu bukan gubernur, tapi itu wali kota," ujar Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/10/2017).
"Karena ini sifatnya kota, ya sudah pidatonya yang teknislah, dalam hal ini ikut Ahok-lah, benar Ahok ini teknis saja, bahkan nggak usah banyak ngomong, teknis saja, yakinkan orang bikin ini, bikin ini, bersihkan ini, bersihkan itu," lanjut dia.
Fahri menyarankan Anies lebih banyak mengerjakan tugas sebagai gubernur dengan berkeliling Jakarta dan melihat apa yang perlu diselesaikan. Jadi tidak perlu melontarkan kalimat-kalimat yang tidak diperlukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu Fahri juga mengkritik masyarakat Jakarta yang mendengarkan pidato tidak menanggapinya dengan rasa sentimen. Apalagi hingga dilaporkan. Menurut Fahri, ini hanya soal masyarakat yang belum menerima keadaan.
"Ah, sudahlah, iya makanya nggak usahlah yang begitu-begitu. Belum terima belum ikhlas namanya juga manusia. Sabar," kata Fahri.
Baca juga: Politikus Tionghoa PKB Bicara soal Pribumi |
Ia juga menjelaskan definisi 'pribumi'. Menurutnya, istilah 'pribumi' adalah istilah sejarah perjuangan bangsa untuk mengidentifikasi diri kita dalam melawan kolonialisme pada zaman dulu.
"Itu saya bilang istilah pribumi itu istilah sejarah perjuangan bangsa kita, cara kita mengidentifikasi diri kita, untuk melawan kolonialisme di jalan itu dulu," terang Fahri.
"Kita semua ini pribumi kalau kita menghadapi kolonialisme dari modal-modal besar yang datang di Indonesia ini mengatur, mengambil tanah-tanah strategis mengontrol pelayanan publik, maka kita mengatakan pribumi harus melawan mereka. Ya nggak apa-apa, nggak usah tersinggung itu diri kita sendiri kok," tuturnya.
(lkw/tor)











































