"Kalau kemudian massa tidak mau mengerti, ini bisa dua kan. Yang pertama tidak mengerti karena tidak tahu. Yang ke dua tidak mau mengerti, tahu tapi tidak mau mengerti gitu ya. Kalau yang kedua ini terjadi, itu sudah penghinaan terhadap pengadilan," kata Fickar ketika dihubungi detikcom, Rabu (18/10/2017).
Menurut Fickar, perlu diselidiki lebih lanjut berapa kali massa sudah melakukan keributan. Jika ini yang pertama maka masih dimaklumi ketidaktahuan mereka. Tapi berbeda hal kalau ini bukan keributan pertama yang dibuat massa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi kalau sudah berkali-kali, lebih dari satu kali, sudah dikasih tahu bahwa laporan itu harusnya masuknya ke kejaksaan atau KPK supaya seorang dijadikan tersangka atau terdakwa tapi dia gak mau tahu nah itu artinya dia sengaja. Sengaja menghina pengadilan bahkan melukai, menganiaya, mengeroyok orang-orang yang ada di pengadilan termasuk ketua pengadilan gitu. Dan ini harus diproses secara pidana," paparnya.
Maka itu Fickar menganggap masyarakat harus diberi penjelasan terkait peran pengadilan. Terlebih untuk kasus korupsi, kewenangan mengusut justru ada di kejaksaan atau KPK.
"Kalau menurut saya ini harus dijelaskan kepada masyarakat bahwa pengadilan itu hanya mengadili gitu ya. Yang punya kewenangan untuk mengajukan seorang itu menjadi tersangka adalah kejaksaan atau KPK. Itu yang punya kewenangan mengusut kasus korupsi, KPK atau kejaksaan. Pengadilan itu hanya mengadili," ujarnya.
Penegak hukum juga diharapkan aktif dalam memberikan penyuluhan hukum. Fickar turut meminta Pemda untuk bertanggung jawab dan ikut serta mengadakan penyuluhan hukum agar tidak terjadi kejadian serupa.
"Seharusnya penegak hukum di sana aktif. Yang dimaksud penegak hukum itu bisa kepolisian, bisa kejaksaan, demikian juga pengadilan. Mestinya aktif melakukan penerangan-penerangan atau penjelasan-penjelasan atau bahkan penyuluhan hukum. Demikian juga Pemda. Pemda juga punya tanggungjawab umpamanya untuk melakukan penyuluhan hukum ini," tutupnya.
(rvk/rvk)