"Ada semacam ketidakpercayaan dari penduduk, jadi akhirnya dia kembali lagi ke rumahnya di zona merah walau dengan alasan ternak dan sebagainya. Tapi praktiknya, dia kembali lagi dan menambah kerawanan," kata Fierman kepada detikcom di Pos Komando Tanggap Darurat Gunung Agung, Dermaga Tanah Ampo, Karangasem, Bali, Senin (16/10/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita membuat tim khusus untuk mendapatkan pemikiran-pemikiran baru. Masyarakat di sini sebagian masih menganggap bencana itu sesuatu yang mistis, padahal ada pemikiran yang lebih positif, yaitu diundangnya warga dari Merapi," ujar Fierman.
Warga yang tinggal di lereng Merapi itu ikut andil dalam sosialisasi untuk memberikan pandangan baru kepada masyarakat di sekitar Gunung Agung. Menurutnya, letusan gunung api selalu membawa berkah jika ada persiapan matang dari warga yang tinggal di lerengnya.
"Masyarakat di sekitar Merapi menunggu kapan meletus, biasanya setiap 5 atau 7 tahun sekali, karena membawa berkah untuk mereka. Sebelum gunung meletus, mereka mengungsi. Setelah gunung normal kembali, diambil berkah itu," ucap Fierman.
"Dalam fase pengungsian, dia menyiapkan diri, salah satunya menabung dalam persiapan tahun kelima atau ketujuh. Ini yang menarik untuk mengubah pola masyarakat di Karangasem bahwa ini bukan bencana, tapi proses memperoleh berkah," pungkasnya.
Perpanjangan masa tanggap darurat bencana ini berlaku hingga 26 Oktober 2017. Perpanjangan masa darurat adalah hal yang biasa selama Gunung Agung masih berada dalam status awas.
"Sebagian pengungsi kembali ke rumahnya meski sudah dilarang karena berbahaya. Alasan mereka kembali ke rumahnya merasa jenuh, ingin bekerja lagi, dan merawat ternak serta lahan pertaniannya. Selama di pengungsian, penghasilan masyarakat menurun. Mereka ingin bekerja kembali agar dapat mencukupi kebutuhannya," ungkap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho saat dihubungi terpisah. (vid/rvk)











































