3 Kekhawatiran Pascaputusan MA yang Setop Swastanisasi Air Jakarta

3 Kekhawatiran Pascaputusan MA yang Setop Swastanisasi Air Jakarta

Azzahra Nabilla - detikNews
Kamis, 12 Okt 2017 16:21 WIB
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), dan Pemprov DKI Jakarta menyetop swastanisasi air. Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) sebagai penggugat mengaku senang atas putusan ini.

Namun jalan panjang 5 tahun proses peradilan belum sampai di akhir. Masih ada kekhawatiran yang menghantui koalisi yang terdiri dari 7 LSM dan 1 LBH ini pascaputusan MA dikeluarkan. Pertama, KMMSAJ khawatir akan adanya peninjauan kembali (PK) yang diajukan pihak tergugat. Kemungkinan ini ada karena itu hak pihak tergugat.

"Meskipun putusan MA berkekuatan hukum tetap, tapi masih mungkin perjuangan ini panjang. Ini kemungkinannya besar. Masih ada mekanisme PK yang bisa ditempuh," ujar kuasa hukum penggugat Arif Maulana dalam pernyataan sikap KMMSAJ di gedung LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/10/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu, ada juga kekhawatiran terhadap pemerintah. KMMSAJ berkaca dari masa lalu ketika Joko Widodo masih menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2013. Saat itu ia setuju dengan gugatan KMMSAJ. Namun, seiring berjalannya waktu, keadaan justru berubah.

"Yang lebih memprihatinkan, ketika putusan pengadilan sudah diketok, keluar Paket Kebijakan Ekonomi 6 dari Jokowi yang membuka peluang investasi privatisasi air. Jadi mereka akan membangkang putusan pengadilan. Kalau itu benar, jangan sungkan-sungkan kita untuk mengatakan pemerintah melanggar konstitusi, melanggar HAM, khususnya Pasal 33," kata Arif.

Meskipun nanti pemerintah mengikuti putusan pengadilan, masih ada satu kekhawatiran lain. KMMSAJ khawatir PT PAM Jaya sebagai perusahaan pengelola air minum negara tidak melakukan perubahan.

"Oke nanti pemerintah mengikuti putusan pengadilan. Tetapi tidak ada perubahan di PAM, tidak ada restrukturisasi, tidak ada reformasi pengelolaan air di BUMD. Akibatnya, pengelolaan air akan sama saja atau bahkan lebih buruk dari swasta," kata Arif.

Sebagaimana diketahui, MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tertanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.

Atas hal itu, MA memerintahkan:

1. Menghentikan kebijakan swastinasasi air minum di Provinsi DKI.
2. Mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai peraturan perundang-undangan lainnya.
3. Melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan Hak Asasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi UU Nomor 11 Tahun 2015 juncto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2012 hak atas air komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. (asp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads